Sabtu, 21 Maret 2015

Cerpen "Tekad Pemuda Kecil"

“Tekad Pemuda Kecil”
            Teriknya matahari tidak menghalangi langkah Toni keluar dari rumahnya. Kebiasaannya sepulang sekolah berjualan koran di Kota, tepatnya di persimpangan lampu merah untuk membantu beban ibunya yang telah tinggal sendiri sedangkan adiknya ada 2 orang.
            “Mudah-mudahan habislah koran kujual hari ini”,  bisiknya dalam hati.
            “Berangkat dulu ya bu”, ia permisi pada ibunya.
            Ia pun berjalan menyusuri sepanjang jalan sambil berkata “Koran-koran, dibeli Pak”, begitulah pintanya.
            Akhirnya ia memutuskan untuk pulang, dengan sisa-sisa tenaganya ia kembali menyusuri jalan untuk pulang, melewati jembatan yang sebenarnya tidak layak untuk dilewati dan dipakai. Jembatan itu nyaris putus. Toni memiliki tekad untuk bisa mendirikan jembatan yang layak menuju desanya dengan caranya sendiri. Mengapa demikian? Karena ia tau bahwa jembatan itu merupakan fasilitas satu-satunya sebagai penghubung antar desanya dengan kota tempat warga desanya mencari nafkah, bersekolah serta beraktifitas. Dengan penuh tertatih dan teliti ia meniti jembatan itu hingga tiba di seberang, ya ia telah tiba di desanya. Kemudian ia berjalan jauh dan melewati gang-gang sempit, ia pun tiba di sebuah rumah yang terbuat dari tumpukkan koran bekas. Dan rumah itu merupakan rumah Toni. Rumahnya sangat sederhana, sehingga tidak layak lagi dikatakan rumah. Tetapi bagi Toni dan keluarganya, itu merupakan istana mereka. Tempat mereka melepas lelah dan mereka juga sudah cukup bahagia tinggal di rumah itu.
            Dan ternyata benar, ketika Toni telah sampai di depan rumah. Ibu dan adik-adiknya telah menunggu kepulangannya.
            “Maaf bu, koran hari ini belum bisa kujual habis.” Ucapnya lirih dengan nada sedih.
            “Tidak apa-apa nak pasti lain kali kamu  bisa menjualnya hingga habis”, ujar ibunya memberi semangat.
            Seusai itu Toni pun hendak bergegas pergi ke empang. Ia menyusuri sepanjang sungai yang terletak di desa itu, kemudian ia pun mandi.
            Setibanya ia di rumah, didapatinya sang ibu sedang mempersiapkan makan malam, sungguh miris sekali, mereka hanya dapat makan nasi jagung dan beberapa ubi rebus. Tetapi itulah yang dapat mereka rasakan. Dapat makan sekali dalam sehari itu sudah dapat mengenyangkan perut mereka. Maklumlah, ibu Toni hanya seorang buruh tani yang bekerja di ladang milik tuannya. Ayah Toni telah meninggal sejak Toni duduk dibangku kelas 6 SD karena mengidap penyakit kanker paru-paru stadium 3. Toni dikenal oleh warga desanya sebagai anak yang aktif dalam pembangunan desa, pintar dalam pendidikan, rajin, patuh dan pantang menyerah dalam menghadapi kehidupan, walaupun ia baru duduk dikelas 10 ia telah menjadi tulang punggung keluarga. Ia membantu menyekolahkan adik-adiknya, walaupun ia harus berada di pinggiran jalan melawan debu, dan teriknya matahari. Ia rela... hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk membantu ibunya serta memuwudkan mimpinya membangun jembatan untuk desanya tersebut.
            Suatu hari Toni pulang seusai menjual koran seperti biasanya. Ketika setibanya ia di rumah didapatinya sang adik sedang sakit panas. Ibunya pun kebingungan karena semakin lama panas badannya naik. Ibunya pun menjadfi khawatir, mereka ingin membawa Tina adik Toni ke puskesmas setempat namun mereka tidak memiliki biaya. Lalu Toni dengan sekuat tenaga mencari pekerjaan tambahan sebagai tukang semir sepatu. Hingga ia bisa membawa adiknya ke puskesmas. Ia lakukan itu semua karena ia sangat menyayangi adik-adiknya.
            Tetapi, lagi-lagi Toni harus bersedih karena ia harus diberhentikan dari sekolah karena belum membayar SPP selama 4 bulan, hal ini menambah penderitaan Toni. Ia sangat sedih karena ia ingin menjadi Dokter. Dengan bersekolahlah ia dapat memuwudkan cita-citanya itu. Mengapa ia ingin menjadi dokter? Karena ia ingin sekali menjadi dokter di desanya agar bisa mengobati warga desanya yang sakit secara gratis, karena ia tau bahwa warga di desanya itu banyak yang tidak mampu. Sungguh mulia cita-cita yang ingin Toni lakukan. Semua yang ingin ia lakukan selalu demi keluarganya dan demi kepentingan umum bukan untuk dirinya sendiri.
            Setelah bekerja keras selama beberapa bulan, akhirnya Toni dapat melanjutkan kembali pendidikannya di bangku sekolah. Ia bekerja dengan penuh semangat untuk membayar SPP sekolahnya itu. Walaupun ia harus mengorbankan masa remaja dengan bekerja bukan dengan bermain bersama teman-teman seusianya.
            Suatu hari, Toni berjualan koran seperti biasanya, namun kali ini koran Toni laris manis. Tiba-tiba ketika ia tengah menjajakan koran, ada seorang lelaki berlari-lari dan tiba-tiba saja, lelaki itu melemparkan dompet kepadanya. Kemudian lelaki itu berlalu. Lalu dipungutlah dompet itu oleh si Toni, sambil kebingungan ia memegang dompet itu. Tiba-tiba, datang sekelompok massa sambil berteriak “Copet-copet”. Dan ketika massa melihat Toni memegang dompet itu mereka pun langsung menghakimi Toni begitu saja, Toni dihakimi hingga babak belur, dalam keadaannya setengah pingsan massa pun membawa Toni ke kantor polisi.
            Tiba di kantor polisi, Toni pun langsung diintrogasi oleh petugas kepolisian. Toni kemudian ditahan sementara untuk mengumpulkan bukti dan saksi-saksi mata. Tak lama setelah itu, ibu Toni pun datang ke kantor polisi sambil menangis memeluk Toni, ia tidak percaya sedikitpun mendengar Toni mencuri. Toni lalu menceritakan kejadian sebenarnya pada ibunya dengan kesedihan yang meluap-luap. Sang ibu sangat percaya bahwa anaknya tidak mencuri. Namun setelah mendengar keterangan dari saksi mata di dekat lokasi kejadian, Toni pun dinyatakan tidak bersalah dan dikeluarkan dari tahanan. Toni pun diizinkan untuk pulang.
            Beberapa hari kemudian, setelah kejadian penahanan itu Toni pun berjualan koran kembali, karena ia sadar bahwa ia tetap harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya walaupun ia belum sembuh total karena dihakimi oleh massa kemarin. Ia masih terlihat sedikit trauma, sang ibu hanya berpesan agar ia lebih berhati-hati lagi ketika berjualan, karena sang ibu tidak ingin kejadian seperti kemarin terjadi lagi pada anak kesayangannya itu. Toni pun berjualan di simpang lampu merah seperti biasanya. Pada saat itu Toni melihat seorang anak kecil tengah berlari ke tengah jalan raya untuk mengejar balonnya yang terlepas dan terbang. Pada saat anak itu berlari, ada mobil yang datang dari arah berlawanan. Dan Toni langsung menjatuhkan korannya kemudian berlari menarik anak itu. Anak itu langsung jatuh dan menangis karena trauma dan tangannya lecet. Setelah itu datang seorang kakek-kakek berpakaian rapi seperti seorang Direktur. Sang kakek mengucapkan banyak terimakasih kepada Toni karena telah menolong cucunya. Sang kakek pun mengajak Toni kerumahnya yang terletak ditengah-tengah kota. Rumah sang kakek besar sekali. Toni tidak pernah menyangka bahwa ia tengah berada di rumah sebesar ini. Ia senang sekali dapat menolong anak kecil tadi. Sang kakek pun mengajak Toni berbincang-bincang. Sang kakek ingin membalas budi Toni atas pertolongannya pada sang cucu. Setelah berbincang-bincang lama Toni tidak ingin budinya dibalas, tetapi sang kakek memaksanya. Akhirnya ia pun mengutarakan maksudnya untuk mendirikan jembatan yang setidaknya layak untuk digunakan warga desanya dalam beraktifitas ke kota. Sang kakek senang melihat keinginan Toni yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Dan sang kakek pun bersedia menjadi donatur pembangunan jembatan untuk desa Toni. Tidak hanya itu sang kakek pun mengangkat Toni sebagai anak. Ia ingin menyekolahkan Toni dan mewujudkan cita-cita Toni yang ingin menjadi Dokter untuk warga desanya kelak. Toni bahagia sekali mendengar hal ini. Ia tidak menyangka dengan kebaikannya ia dapat membuat keluarganya serta orang lain bahagia. Sang kakek percaya bahwa Toni dapat mejadi pemuda harapan bangsa.



Dwi Prasetyaningsih Maryadi

Kelas X Akuntansi 1 SMKN 2 Legenda Malaka, Batam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar