“Tekad
Pemuda Kecil”
Teriknya matahari tidak menghalangi
langkah Toni keluar dari rumahnya. Kebiasaannya sepulang sekolah berjualan
koran di Kota, tepatnya di persimpangan lampu merah untuk membantu beban ibunya
yang telah tinggal sendiri sedangkan adiknya ada 2 orang.
“Mudah-mudahan habislah koran kujual
hari ini”, bisiknya dalam hati.
“Berangkat dulu ya bu”, ia permisi
pada ibunya.
Ia pun berjalan menyusuri sepanjang
jalan sambil berkata “Koran-koran, dibeli Pak”, begitulah pintanya.
Akhirnya ia memutuskan untuk pulang,
dengan sisa-sisa tenaganya ia kembali menyusuri jalan untuk pulang, melewati
jembatan yang sebenarnya tidak layak untuk dilewati dan dipakai. Jembatan itu
nyaris putus. Toni memiliki tekad untuk bisa mendirikan jembatan yang layak menuju
desanya dengan caranya sendiri. Mengapa demikian? Karena ia tau bahwa jembatan
itu merupakan fasilitas satu-satunya sebagai penghubung antar desanya dengan
kota tempat warga desanya mencari nafkah, bersekolah serta beraktifitas. Dengan
penuh tertatih dan teliti ia meniti jembatan itu hingga tiba di seberang, ya ia
telah tiba di desanya. Kemudian ia berjalan jauh dan melewati gang-gang sempit,
ia pun tiba di sebuah rumah yang terbuat dari tumpukkan koran bekas. Dan rumah
itu merupakan rumah Toni. Rumahnya sangat sederhana, sehingga tidak layak lagi
dikatakan rumah. Tetapi bagi Toni dan keluarganya, itu merupakan istana mereka.
Tempat mereka melepas lelah dan mereka juga sudah cukup bahagia tinggal di
rumah itu.
Dan ternyata benar, ketika Toni
telah sampai di depan rumah. Ibu dan adik-adiknya telah menunggu kepulangannya.
“Maaf bu, koran hari ini belum bisa
kujual habis.” Ucapnya lirih dengan nada sedih.
“Tidak apa-apa nak pasti lain kali
kamu bisa menjualnya hingga habis”, ujar
ibunya memberi semangat.
Seusai itu Toni pun hendak bergegas
pergi ke empang. Ia menyusuri sepanjang sungai yang terletak di desa itu,
kemudian ia pun mandi.
Setibanya ia di rumah, didapatinya
sang ibu sedang mempersiapkan makan malam, sungguh miris sekali, mereka hanya
dapat makan nasi jagung dan beberapa ubi rebus. Tetapi itulah yang dapat mereka
rasakan. Dapat makan sekali dalam sehari itu sudah dapat mengenyangkan perut
mereka. Maklumlah, ibu Toni hanya seorang buruh tani yang bekerja di ladang
milik tuannya. Ayah Toni telah meninggal sejak Toni duduk dibangku kelas 6 SD
karena mengidap penyakit kanker paru-paru stadium 3. Toni dikenal oleh warga
desanya sebagai anak yang aktif dalam pembangunan desa, pintar dalam
pendidikan, rajin, patuh dan pantang menyerah dalam menghadapi kehidupan,
walaupun ia baru duduk dikelas 10 ia telah menjadi tulang punggung keluarga. Ia
membantu menyekolahkan adik-adiknya, walaupun ia harus berada di pinggiran
jalan melawan debu, dan teriknya matahari. Ia rela... hal itu tidak menyurutkan
niatnya untuk membantu ibunya serta memuwudkan mimpinya membangun jembatan
untuk desanya tersebut.
Suatu hari Toni pulang seusai
menjual koran seperti biasanya. Ketika setibanya ia di rumah didapatinya sang
adik sedang sakit panas. Ibunya pun kebingungan karena semakin lama panas
badannya naik. Ibunya pun menjadfi khawatir, mereka ingin membawa Tina adik
Toni ke puskesmas setempat namun mereka tidak memiliki biaya. Lalu Toni dengan
sekuat tenaga mencari pekerjaan tambahan sebagai tukang semir sepatu. Hingga ia
bisa membawa adiknya ke puskesmas. Ia lakukan itu semua karena ia sangat
menyayangi adik-adiknya.
Tetapi, lagi-lagi Toni harus
bersedih karena ia harus diberhentikan dari sekolah karena belum membayar SPP
selama 4 bulan, hal ini menambah penderitaan Toni. Ia sangat sedih karena ia
ingin menjadi Dokter. Dengan bersekolahlah ia dapat memuwudkan cita-citanya
itu. Mengapa ia ingin menjadi dokter? Karena ia ingin sekali menjadi dokter di
desanya agar bisa mengobati warga desanya yang sakit secara gratis, karena ia
tau bahwa warga di desanya itu banyak yang tidak mampu. Sungguh mulia cita-cita
yang ingin Toni lakukan. Semua yang ingin ia lakukan selalu demi keluarganya
dan demi kepentingan umum bukan untuk dirinya sendiri.
Setelah bekerja keras selama
beberapa bulan, akhirnya Toni dapat melanjutkan kembali pendidikannya di bangku
sekolah. Ia bekerja dengan penuh semangat untuk membayar SPP sekolahnya itu.
Walaupun ia harus mengorbankan masa remaja dengan bekerja bukan dengan bermain
bersama teman-teman seusianya.
Suatu hari, Toni berjualan koran
seperti biasanya, namun kali ini koran Toni laris manis. Tiba-tiba ketika ia
tengah menjajakan koran, ada seorang lelaki berlari-lari dan tiba-tiba saja,
lelaki itu melemparkan dompet kepadanya. Kemudian lelaki itu berlalu. Lalu
dipungutlah dompet itu oleh si Toni, sambil kebingungan ia memegang dompet itu.
Tiba-tiba, datang sekelompok massa sambil berteriak “Copet-copet”. Dan ketika
massa melihat Toni memegang dompet itu mereka pun langsung menghakimi Toni
begitu saja, Toni dihakimi hingga babak belur, dalam keadaannya setengah
pingsan massa pun membawa Toni ke kantor polisi.
Tiba di kantor polisi, Toni pun
langsung diintrogasi oleh petugas kepolisian. Toni kemudian ditahan sementara
untuk mengumpulkan bukti dan saksi-saksi mata. Tak lama setelah itu, ibu Toni
pun datang ke kantor polisi sambil menangis memeluk Toni, ia tidak percaya
sedikitpun mendengar Toni mencuri. Toni lalu menceritakan kejadian sebenarnya
pada ibunya dengan kesedihan yang meluap-luap. Sang ibu sangat percaya bahwa
anaknya tidak mencuri. Namun setelah mendengar keterangan dari saksi mata di
dekat lokasi kejadian, Toni pun dinyatakan tidak bersalah dan dikeluarkan dari
tahanan. Toni pun diizinkan untuk pulang.
Beberapa hari kemudian, setelah
kejadian penahanan itu Toni pun berjualan koran kembali, karena ia sadar bahwa
ia tetap harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya walaupun ia belum
sembuh total karena dihakimi oleh massa kemarin. Ia masih terlihat sedikit
trauma, sang ibu hanya berpesan agar ia lebih berhati-hati lagi ketika
berjualan, karena sang ibu tidak ingin kejadian seperti kemarin terjadi lagi
pada anak kesayangannya itu. Toni pun berjualan di simpang lampu merah seperti
biasanya. Pada saat itu Toni melihat seorang anak kecil tengah berlari ke
tengah jalan raya untuk mengejar balonnya yang terlepas dan terbang. Pada saat
anak itu berlari, ada mobil yang datang dari arah berlawanan. Dan Toni langsung
menjatuhkan korannya kemudian berlari menarik anak itu. Anak itu langsung jatuh
dan menangis karena trauma dan tangannya lecet. Setelah itu datang seorang
kakek-kakek berpakaian rapi seperti seorang Direktur. Sang kakek mengucapkan
banyak terimakasih kepada Toni karena telah menolong cucunya. Sang kakek pun
mengajak Toni kerumahnya yang terletak ditengah-tengah kota. Rumah sang kakek
besar sekali. Toni tidak pernah menyangka bahwa ia tengah berada di rumah
sebesar ini. Ia senang sekali dapat menolong anak kecil tadi. Sang kakek pun
mengajak Toni berbincang-bincang. Sang kakek ingin membalas budi Toni atas
pertolongannya pada sang cucu. Setelah berbincang-bincang lama Toni tidak ingin
budinya dibalas, tetapi sang kakek memaksanya. Akhirnya ia pun mengutarakan
maksudnya untuk mendirikan jembatan yang setidaknya layak untuk digunakan warga
desanya dalam beraktifitas ke kota. Sang kakek senang melihat keinginan Toni
yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Dan
sang kakek pun bersedia menjadi donatur pembangunan jembatan untuk desa Toni.
Tidak hanya itu sang kakek pun mengangkat Toni sebagai anak. Ia ingin
menyekolahkan Toni dan mewujudkan cita-cita Toni yang ingin menjadi Dokter
untuk warga desanya kelak. Toni bahagia sekali mendengar hal ini. Ia tidak
menyangka dengan kebaikannya ia dapat membuat keluarganya serta orang lain
bahagia. Sang kakek percaya bahwa Toni dapat mejadi pemuda harapan bangsa.
Dwi
Prasetyaningsih Maryadi
Kelas
X Akuntansi 1 SMKN 2 Legenda Malaka, Batam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar