Selasa, 13 Oktober 2015

Sejarah G30S/PKI

Pengertian
          Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI adalah sebuah kejadian yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha kudeta (pengambilan kekuasaan) yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Sejarah dan Kronologis Peristiwa G30S/PKI
          Sebelum terjadinya peristiwa G30S/PKI, Partai Komunis Indonesia (PKI) tercatat sebagai Partai Komunis yang paling besar di dunia tanpa menghitung partai komunis yang ada di Uni Soviet maupun Tiongkok. Ketika dilakukan audit pada tahun 1965, tercatat bahwa anggota aktif dari partai ini melebihi angka 3,5 juta, belum termasuk 3 juta jiwa yang menjadi anggota pergerakan pemuda. Selain itu, PKI juga memiliki kontrol penuh akan pergerakan buruh, menambahkan 3,5 juta orang lagi dibawah pengaruhnya. Hal tersebut belum berhenti, karena masih ada 9 juta anggota dari pergerakan petani, serta beberapa gerakan lain seperti pergerakan wanita, organisasi penulis, dan pergerakan sarjana yang membuat total anggota PKI mencapai angka 20 juta anggota termasuk pendukung-pendukungnya.
          Yang membuat masyarakat mencurigai bahwa PKI adalah dalang dibalik terjadinya gerakan 30 September dimulai dengan kejadian di bulan Juli 1959, dimana pada saat itu parlemen dibubarkan, dan Soekarno menetapkan bahwa konstitusi ada di bawah dekrit presiden, dengan PKI berdiri di belakang, memberikan dukungan penuh. PKI juga menyambut gembira sistem baru yang diperkenalkan oleh Soekarno, yaitu Demokrasi Terpimpin yang menurut PKI mampu menciptakan persekutuan konsepsi NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Pada masa demokrasi terpimpin ini sayangnya kolaborasi pemimpin PKI dengan kaum-kaum borju yang ada di Indonesia gagal menekan pergerakan independen dari buruh dan petani, menyebabkan banyak masalah yang tidak terselesaikan di bidang politik dan ekonomi.
          Pemicu G30 S adalah adanya isu atau rumor tentang Dewan Jendral.Isu ini menimbulkan reaksi tidak hanya para dedengkot PKI tapi juga Presiden Sukarno. Untuk mengantisipasi adanya isu Dewan Jendral yang akan mengadakan Kudeta pada 5 Oktober 1965, maka Presiden sukarno melaui orang-orangnya membentuk apa yang disebut Dewan Revolusi. Mulanya gerakan ini hendak diberi nama Dewan Militer tapi tidak jadi karena ditentang oleh salah seorang dalang dari gerakan tersebut yaitu Syam Kamaruzzaman, wakil Aidit di Biro Khusus yang dulunya ketua Partai Serikat Buruh Pelabuhan. Untuk mendahului gerakan Dewan Jendral tersebut maka Dewan Revolusi memandang penting untuk melakukan gerakan dalam upaya menyelamatkan kedudukan presiden sekaligus masa depan PKI. Maka atas saran dari D.N Aidit, Presiden Sukarno memerintahkan Men/Pangau laksamana Omar Dani untuk menyelesaikan masalah ini secara damai.Oleh Omar Dani karena ini gerakan tertutup maka garis komando harus dibuat terputus-putus mirip gerakan terorisme. Disinilah factor yang membuat G30S diselimuti oleh misteri yang akan saya jelaskan kemudian. Omar Dani lantas mengutus orang kepercayaannya, Brigjen Suparjo, yang waktu itu Pangkopur Kalimantan Timur untuk balik ke Jakarta dan menjalankan misi ini. Untuk menjalankan misi ini agar garis komando menjadi terputus, maka Brigjen Suparjo mengangkat Mayor Sujono ( Komandan Resimen Pertahanan Pangkalan, Indoktrinator KONTRAR, orang yang melatih sukarelawan dan sukarelawati sebanyak 1000 orang sebagai cikal bakal angkatan ke 5), Kolonel A. Latief (Komandan Brigif I) dan letkol Untung ( Komandan Yon I Tjakrabirawa).
          Tujuan dari gerakan ini adalah menculik para jendral yang nantinya akan dihadapkan kepada Presiden Sukarno yang telah berada di Bandara Halim PerdanaKusuma untuk dimintai keterangan berkisar isu Dewan Jendral. Tapi ternyata pelaksanaan tak sejalan dengan perencanaan. Ditengah misi, ketujuh jendral yang diculik malah dibantai dan tak pernah dihadapkan sama sekali dengan Presiden Sukarno. Tindakan ini tentunya mengundang amarah dari Presiden Sukarno.Tapi nasi sudah menjadi bubur.Akhirnya yang bisa dilakukan Presiden Sukarno adalah menyingkir ke Madiun untuk menghindari konflik dengan Angkatan Darat yang salah satu Jendralnya berhasil lolos dari penculikan.
          Seterusnya mungkin telah banyak kita ketahui, dimana Angkatan Darat kemudian menguasai keadaan dan berusaha menumpas habis PKI bahkan sampai ke anak cucunya kelak.
Kronologis penumpasan PKI
1.    Tanggal 30 September 1965
          Tiga dari seluruh korban yang direncanakan, mereka bunuh di rumah mereka yaitu Ahmad Yani, M.T. Haryono, dan D.I. Panjaitan. Ketiga target lain yaitu Soeprapto, S. Parman, dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup, sementara target utama mereka, Jendral Abdul Harris Nasution berhasil kabur setelah melompati dinding yang berbatasan dengan taman di kedutaan besar Iraq. Meski begitu, Pierre Tendean yang menjadi ajudan pribadinya ditangkap, dan anak gadisnya yang berusia lima tahun, Ade Irma Suryani Nasution, tertembak oleh regu sergap dan tewas pada 6 Oktober. Korban tewas bertambah ketika regu penculik menembak dan membunuh seorang polisi yang menjadi penjaga rumah tetangga Nasution, Karel Satsuit Tubun. Korban tewas terakhir adalah Albert Naiborhu, keponakan dari Pandjaitan, yang tewas saat menyerang rumah jendral tersebut.

2.    Tanggal 1 Oktober 1965
          Peristiwa G30S/PKI baru dimulai pada tanggal 1 Oktober pagi, dimana kelompok pasukan PKI bergerak dari Lapangan Udara Halim Perdana kusuma menuju daerah selatan Jakarta. Setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada di sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.

3.     Tanggal 2 Oktober 1965
          Pada tanggal 2 Oktober, sekitar 2.000 pasukan diturunkan untuk menduduki tempat yang sekarang dikenal sebagai Lapangan Merdeka, sebuah taman yang ada di Monas. Meski begitu, mereka tidak berhasil menundukkan bagian timur dari area ini, karena pada saat itu merupakan daerah markas KOSTRAD yang dipimpin oleh Soeharto. Pada jam 7 pagi, RRI menyiarkan pesan yang berasal dari Untung Syamsuri, komandan Cakrabiwa, regimen penjaga Presiden, bahwa gerakan 30 September telah berhasil mengambil alih beberapa lokasi strategis di Jakarta dengan bantuan anggota militer lainnya. Mereka berkeras bahwa gerakan ini didukung oleh Central Intelligence of America (CIA) yang bertujuan untuk menurunkan Soekarno dari posisinya.
          Yang menuliskan tinta kegagalan dalam sejarah peristiwa G30S/PKI kemungkinan besar adalah karena mereka melewatkan Soeharto yang mereka kira diam dan bukan tokoh politik pada masa itu. Soeharto diberitahu oleh tetangganya tentang hilangnya para jendral dan penembakan yang terjadi pada pukul 5:30 pagi, dan karena ini ia segera bergerak ke markas KOSTRAD dan berusaha menghubungi anggota angkatan laut dan polisi, namun tidak berhasil melakukan kontak dengan angkatan udara. Ia kemudian mengambil alih komando angkatan darat. Kudeta ini juga gagal karena perencanaan yang amat tidak matang dan menyebabkan para tentara yang ada di Lapangan Merdeka menjadi kehausan dibawah impresi bahwa mereka melindungi presiden di Istana.Soeharto juga berhasil membujuk kedua batalion pasukan kudeta untuk menyerah dimulai dari pasukan Brawijaya yang masuk ke area markas KOSTRAD dan kemudian pasukan Diponegoro yang kabur kembali ke Halim. Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Pimpinan sementara Mayjen Soeharto. Pada pukul 12.00 siang, seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
4.    Tanggal 3 Oktober 1965
          Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha pencarian perwira TNI – AD dipergiat dan atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G 30 S/PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI – AD tersebut dibawah ke Lubang Buaya. Karena daerah terebut diselidiki secara intensif, akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1965 ditemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh tersebut. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris tengah ¾ meter dengan kedalaman kira – kira 12 meter di Pondok Gede, Jakarta, yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.

5.    Tanggal 4 Oktober 1965
          Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjutkan kembali (karena ditunda pada tanggal 3 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan hari) yang diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO – AL dengan disaksikan pimpinan sementara TNI – AD Mayjen Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa.Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.

6.     Tanggal 5 Oktober 1965
          Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI – AD tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.

7.   Tanggal 6 Oktober 1965
          Pada tanggal 6 Oktober, dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang Kabinet Dwikora, para perwira TNI – AD tersebut ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.

Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah: 
·         Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi) 
·         Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi) 
·         Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan) 
·         Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen) 
·         Brigjen TNI Donald Issac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik) 
·         Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat) 

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut. Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban: 
·         Bripka Karel Satsuin Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.Leimena) 
·         Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta) 
·         Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta) 

Pasca kejadian 
          Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI Angkatan Darat, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Soetopo. Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas,Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Soekarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.   Pada tanggal 6 Oktober, Soekarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya untuk penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. 
Peringatan
 
          Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
          Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica, Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah. 

Kesimpulan
·         Peristiwa G 30 S PKI adalah peristiwa berdarah bunuh membunuh yang tidak jelas kepastiannya, dalam peristiwa ini 6 jendral tewas dan dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha kudeta (pengambilan kekuasaan) yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
·         Menurut isu beredar, ada kabar bahwa para jenderal tidak puas dengan pemerintahan Soekarno, kabar ini disebut Isu Dewan Jenderal, menurut isu beredar, kemudian digerakan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili mereka, namun dalam proses penangkapan, secara tak terduga mereka terbunuh pada tanggal 30 September 1965. 
·         Menurut isu, setelah ke enam jenderal terbunuh, tersebarlah tuduhan bahwa PKI yang membunuh para jenderal tersebut. 
·         Menurut isu, untuk menyikapi tuduhan atas PKI tersebut, diberantaslah PKI yang dianggap ingin mengudeta pemerintahan. Banyak anggota-anggota PKI yang terbunuh, juga banyak orang-orang kita yang terbunuh oleh PKI, semua itu terjadi pasca terbunuhnya jenderal pada 30 September 1965
·         Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar