“Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-14 Maret 1957)”
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret
1956 - 14 Maret 1957). Ali Sastroamidjojo kembali diserahi mandat untuk
membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet baru yang
dibentuknya itu merupakan kabinet koalisi antara PNI, Masyumi dan NU.
Keanggotaan Kabinet Djuanda
No
|
Jabatan
|
Nama Menteri
|
1
|
||
2
|
||
3
|
||
4
|
||
5
|
||
6
|
||
7
|
||
8
|
||
Menteri
Muda Perdagangan
|
||
9
|
||
Menteri
Muda Pertanian
|
||
10
|
||
Menteri
Muda Perhubungan
|
||
11
|
||
12
|
||
13
|
||
14
|
||
15
|
||
16
|
||
17
|
||
18
|
Djuanda
(Urusan Perencanaan) |
|
Rusli Abdul Wahid
(Urusan Umum) |
||
Dahlan Ibrahim
(Urusan Bekas Pejuang Kemerdekaan) |
Program pokok dari Kabinet Ali
Sastroamijoyo II adalah :
Program kabinet ini disebut Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut :
·
Perjuangan
pengembalian Irian Barat
·
Pembentukan
daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
·
Mengusahakan perbaikan
nasib kaum buruh dan pegawai.
·
Menyehatkan
perimbangan keuangan negara.
·
Mewujudkan perubahan
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokok dari kabinet ini adalah
sebagai berikut :
·
Pembatalan KMB.
·
Perjuangan
mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia.
·
Pemulihan keamanan dan
ketertiban, pembangunan ekonomi, keuangan, industri, perhubungan, pendidikan dan
pertanian.
·
Melaksanakan keputusan
Konferensi Asia-Afrika.
Keberhasilan Kabinet Ali Sastroamijdojo
II :
·
Mendapat dukungan
penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and
investment, hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kendala yang dihadapi Kabinet Ali Sastroamijdojo II :
·
Berkobarnya semangat
anti-Cina di masyarakat.
·
Muncul
pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan
sparatisme dengan pembentukan dewan militer, seperti Dewan Banteng di Sumatera
Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan
Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
·
Memuncaknya krisis di
berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di
daerahnya.
·
Pembatalan KMB oleh
presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha
Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada
orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan
yang dapat melindungi pengusaha nasional.
·
Timbulnya perpecahan
antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamidjojo menyerahkan
mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan
mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
Akhir Kabinet Ali Sastroamidjojo II :
·
Mundurnya sejumlah
menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan
mandatnya pada presiden.
“Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli 1959)”
Kondisi politik Indonesia yang tidak stabil telah
membuat silih bergantinya Kabinet. Kabinet Djuanda dibentuk setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo dua turun. Kabinet Djuanda, disebut juga Kabinet
Karya, periode memerintah atau masa bakti dimulai pada 9 April 1957 hingga 10
Juli 1959. Presiden Soekarno membentuk Kabinet Karya pada tanggal 9 April 1957
dengan Djuanda Kartawidjaja (1911-1963) sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-11.
Proses Terbentuknya Kabinet Djuanda
Proses
terbentuknya Kabinet Djuanda dilatarbelakangi suasana politik saat itu yang
dalam kondisi mendesak dan genting. Kondisi bangsa saat itu menuju perpecahan
di antaranya akibat polarisasi yang dilakukan partai-partai dan pembagian
Jawa-luar Jawa. Struktur ekonomi saat itu banyak dilakukan oleh orang-orang
etnis China, sedangkan suku Jawa mendominasi struktur dalam
pemerintahan.Sentimen-sentimen kesukuan dan kedaerahan menjadi jelas yang
didorong oleh perbedaan-perbedaan daerah yang diungkap dalam Pemilu 1955. Suku Sunda menyatakan kejengkelannya
karena orang-orang Jawa yang menguasai bidang pemerintahan. Masyarakat di luar Jawa juga umumnya
frustasi dengan nilai mata uang rupiah yang tinggi yang dianggap sebagai puncak
Pemerintah di Jakarta melalaikan tugasnya.
Sejak
1952, militer di beberapa daerah banyak menjalin kerjasama yang tak lazim
dengan instansi-instansi sipil di luar Jawa untuk memenuhi kebutuhan
kesatuannya hingga penghasilan pribadi mereka. Jakarta terutama Nasution dan para
pengikutnya
tidak menyukai hal tersebut, hingga setelah menjadi Kepala Staff Tetara pada
bulan November 1956. Nasution memulai kebijakan memindalahkan perwira secara
besar-besaran yang kebanyakan dari mereka telah banyak terlibat dalam
perusahaan-perusahaan swasta lokal. Hal tersebut menyebabkan pertalian
pihak militer dan sipil terpecah menjadi dua kelompok.
Puncaknya,
saat ada usaha menawan Menteri Luar Negeri yang berasal dari PNI, Ruslan
Abdulgani dengan tuduhan korupsi oleh pendukung kelompok militer yang menentang
Nasution, yang kebanyakan adalah perwira militer anti-Jakarta. Usaha penawanan ini digagalkan oleh
Nasution.Kelompok tersebut juga merencanakan kudeta dengan dukungan beberapa
perwira Divisi Siliwangi di Jawa Barat. Kudeta yang dilancarkan saat Presiden
Soekarno tengah dalam kunjungan kenegaraan ke negara-negara komunis pada 28
Agustus-16 Oktober 1956. Kudeta tersebut ingin memecat Nasution
dan menggulingkan pemerintahan kabinet sebelum Soekarno kembali ke Indonesia. Namun pemberontakan tersebut digagalkan
oleh kelompok pendukung Nasution sebelum bisa memasuki Jakarta.
Rencana
Presiden Soekarno tentang pembubaran partai politik melalui pidatonya pada 28
Oktober 1956, membuat militer gusar. Hal ini dikarenakan akan memunculkan
kekuatan PKI dan kelompok kiri di sekitar Soekarno. Dua hari kemudian Soekarno
menyatakan pemikirannya untuk membentuk Demokrasi Terpimpin. Masyumi menolak, sedangkan NU dan PNI
bersikap ambivalen. Murba dan PKI menyetujui pemikiran tersebut.
Tak
berapa lama, pada Desember 1956, militer di sejumlah daerah mengambil alih
kekuasaan sipil seperti di Sumatera Utara dan Selatan. Kondisi ini didukung
perusahaan-perusahaan asing di sana, Militer pun menangkapi anggota-anggota PKI
yang menentang pengambil alihan tersebut. Hilangnya kekuasaan atas Sumatera
menyebabkan hilangnya sumber perekonomian.Tuntutan otonomi khusus juga meluas
hingga Kalimantan.Sulawesi, dan Maluku.
Ancaman
disintegrasi bangsa ini, memaksa Nasution mengambil prakarsa untuk mengakhiri
Demokrasi Parlementer. Usulan membentuk Kabinet Hatta untuk
meredam permasalahan ditolak oleh Soekarno. Nasution lalu mendesak Presiden
Soekarno mengumumkan keadaan darurat perang di mana akan menempatkan militer
sebagai pemegang kekuasaan dan memberinya alat untuk mengurus
perpecahan-perpecahan yang terjadi di internal militer, yang disetujui oleh
Presiden Soekarno. Pada 14 Maret 1957, Ali mengundurkan diri dan Presiden
Soekarno mengumumkan darurat perang. Otomatis, posisi partai politik menjadi
‘bertahan’ dan sukar untuk saling bekerja sama dalam mempertahankan Demokrasi
Parlementer.
Keanggotaan Kabinet Djuanda
Pada
9 April 1957, Soekarno mengumumkan pembentukan Kabinet Karya Djuanda di bawah
komando seorang non-partai, Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana Menteri.
Susunannya adalah sebagai berikut:
·
Perdana Menteri : Djuanda Kartawidjaja
·
Wakil Perdana Menteri : Hardi
: Idham Chalid
: J. Leimena
: Idham Chalid
: J. Leimena
·
Menteri Luar Negeri : Subandrio
·
Menteri Dalam Negeri : Sanusi Hardjadinata
·
Menteri Pertahanan : Djuanda
·
Menteri Kehakiman : GA Maengkom
·
Menteri Penerangan : Soedibjo
·
Menteri Keuangan : Sutikno Slamet
·
Menteri Pertanian : Sadjarwo
·
Menteri Perdagangan : Prof. Drs. Soenardjo
·
Menteri Perindustrian : FJ Inkiriwang
·
Menteri Perhubungan : Sukardan
·
Menteri Pelayaran : Mohammad Nazir
·
Menteri PU dan Tenaga : Pangeran Mohammad Nur
·
Menteri Perburuhan : Samjono
·
Menteri Sosial : J. Leimena
·
Menteri Pendidikan&Kebudayaan : Prijono
·
Menteri Agama : Mohammad Iljas
·
Menteri Kesehatan : Azis Saleh
·
Menteri Agraria : R. Sunarjo
·
Menteri Tenaga Rakyat : A.M. Hanafi
·
Menteri Negara : FL Tobing
: Chaerul Saleh
: FL Tobing
: Suprajogi
: Wahid Wahab
: Mohammad Yamin
: Chaerul Saleh
: FL Tobing
: Suprajogi
: Wahid Wahab
: Mohammad Yamin
Pencapaian Kabinet Djuanda
Kabinet
Djuanda bekerja di bawah bayang-bayang transisi Demokrasi Parlementer ke
Demokrasi Terpimpin. Tugas dari kabinet ini sangatlah berat terutama menghadapi pergolakan-pergolakan
yang terjadi di berbagai daerah, perjuangan mengembalikan Irian Barat dan
menghadapi masalah ekonomi yang sangat buruk. Untuk mengatasi masalah tersebut,
Kabinet Karya menyusun program yang disebut Pancakarya, yaitu:
1.
Membentuk Dewan Nasional.
2.
Normalisasi keadaan republik.
3.
Melancarkan pelaksanaan pembatalan persetujuan KMB.
4.
Memperjuangkan Irian Barat.
5.
Mempercepat proses pembangunan
Keberhasilan Kabinet Djuanda
:
1.
Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui
Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial.
Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia
karena lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
2.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan
menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan
presiden sebagai ketuanya. Dengan dibentulnya Dewan Nasional merupakan titik
tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
3.
Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan
pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan
nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
4.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi
masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala yang dihadapi Kabinet Djuanda :
1.
Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan
di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah
menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
2.
Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga
program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai
puncaknya.
3.
Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di depan Perguruan Cikini saat sedang
menghadir pesta sekolah tempat putra-putrinya bersekolah pada tanggal 30
November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena
mengancam kesatuan negara.
Akhir Kabinet Djuanda
Terwujudnya Demokrasi Terpimpin terjadi
ketika Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diterbitkan. Hal ini dikarenakan terjadinya
kelarutan waktu Konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar yang diharapkan
setelah mereka tidak mungkin lagi bersidang. Maka, mulai timbul keinginan untuk
kembali ke UUD 1945. Presiden Soekarno lalu mengeluarkan Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959. Soekarno juga membubarkan Konstituante.
Pada saat itu pula, diumumkan Kabinet
Kerja dengan Presiden Soekarno menjadi Perdana Menteri dan Djuanda sebagai
Menteri Utama.Demokrasi Terpimpin mengatur secara tegas tentang partai politik,
di mana tidak boleh ada pejabat tinggi negara yang menjadi anggota partai
politik. Hanya PKI-lah partai yang masih memiliki kekuatan untuk
dekat bersama Soekarno. Dengan kekuasaan yang sangat besar atas
diri Soekarno sebagai Presiden, maka demokrasi terpimpin telah menggusur
demokrasi parlementer. Sejak itu mulailah babak baru sejarah
RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar