Sabtu, 05 Desember 2015

PPH Badan atau PPH 29

Pajak Penghasilan ( PPh ) Pasal 21 Terbaru 2015
Perubahan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2015 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, membuat penghitungan pajak juga berubah. Berikut ini adalah ketentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP), Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), Penghasilan Kena Pajak (PTKP) dan tarif pajak terbaru yang berlaku saat ini.
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri.
A.  Tarif Pajak Penghasilan ( PPh ) Pasal 21
Tarif pemotongan PPh Pasal 21 dijelaskan pada Pasal 17 ayat (1) huruf a. Tarif berikut berlaku pada Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):
  • WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000,00 adalah 5%
  • WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 250.000.000,00 adalah 15%
  • WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00 adalah 25%
  • WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500.000.000,00 adalah 30%
  • Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.
B.  Tarif Pajak Penghasilan ( PPh ) Pasal 21 Bagi Penerima Penghasilan yang Tidak Memiliki NPWP
  1. Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP.
  2. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP. 
  3. Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
  4. Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.
Pengertian SPT
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat oleh wajib pajak yang digunakan untuk melaporkan penghitungan/pembayaran pajak, objek pajak/bukan objek pajak, harta, dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bagi pengusaha, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang misalnya: Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran bagi pemotong/pemungut pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong dan disetorkannya.
Pembagian SPT
Secara umum berdasarkan jenisnya terdapat dua jenis SPT, yaitu :
1.      SPT masa
SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas pembayaran pajak bulanan atau Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.
Macam-macam Surat Pemberitahuan Masa yaitu :
·         SPT Masa PPh Pasal 21/26
·         SPT Masa PPh Pasal 22
·         SPT Masa PPh Pasal 25
·         SPT Masa PPh Pasal 23
·         SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)
·         SPT Masa PPh Pasal 15
·         SPT Masa PPN (1195)
·         SPT Masa PPN bagi Pemungut
·         SPT Masa PPnBM (1101BM).
NO
JENIS PAJAK
YANG MENYAMPAIKAN
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN
1
PPh Pasal 21
Pemotong PPh Pasal 21
Tanggal 20 Bulan Takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
2
PPh Pasal 22 Impor  PPN dan PPnBM Impor
Direktorat Bea dan Cukai
14 hari setelah berakhirnya Masa Pajak
3
PPh Pasal 22 Impor, PPn dan PPnBM atas Impor ( DJBC )
Direktorat Bea dan Cukai
7 hari setelah batas waktu penyetoran Pajak berakhir
4
PPh Pasal 22 Bendaharawan
Bendaharawan
Tanggal 14 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
5
PPh Pasal 22 Bahan Bakar
Pertamina
20 hari setelah Masa Pajak berikutnya
6
PPh Pasal 22 Pemungutan
Oleh Badan tertentu
Pemungut Pajak
20 hari setelah Masa Pajak berakhir
7
PPh Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23
Tanggal 20 bulan Takwim berikutnya setelah Masa Pajak berikutnya
8
PPh Pasal 25
Wajib Pajak Yang Mempunyai NPWP
Tanggal 20 bulan Takwim setelah Masa Pajak berakhir
9
PPh Pasal 26
Pemotong PPh Pasal 26
Tanggal 20 bulan Takwim setelah Masa Pajak berakhir
10
PPN dan PPnbM
PKP
Tanggal 20 bulan Takwim setelah Masa Pajak berikutnya
11
PPN dan PPnBM Bendaharawan
Bendaharawan Pemerintah
14 hari setelah Masa Pajak berikutnya
12
PPN dan PPnBM selain Bendaharawan
Selain Bendaharawan
20 hari setelah Masa Pajak berakhir

2.      SPT Tahunan
SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan atau Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
Terdapat tiga macam Surat Pemberitahuan Tahunan, yaitu :
a.       Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, yang terdiri dari :
·         Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Biasa (formulir 1770)
·         Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas (formulir 1770S)
b.      Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Badan, yang terdiri dari :
·         Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan biasa (formulir 1771)
·         Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat (formulir 1771S)
c.       Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak penghasilan Pasal 21 (formulir 1721)
NO
JENIS PAJAK
YANG MENYAMPAIKAN
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN
1
SPT Tahunan
Wajib Pajak yang mempunyai NPWP
Selambatnya 3 bulan setelah akhir tahin pajak (biasanya tanggal 31 maret Tahun berikutnya)
2
PPh Pasal 21 Tahunan
Pemotong PPh Pasal 21
Selambatnya 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak

Batas Waktu Penyampaian SPT
Batas waktu penyampaian SP adalah :
a.    Untuk Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 hari setelah akhir masa Pajak. Untuk Surat Pemberitahuan Masa PPN paling lama akhir bulan setelah berakhirnya Pajak.
b.    Untuk surat Pemberitahuan PPh wajib pajak orang pribadi paling lama 3 bulan setelah akhir tahun pajak.
c.    Untuk Surat Pemberitahuan PPh wajib pajak badan paling lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak.
Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT
Wajiib pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan paling lama 2 bulan. Pemberitahuan perpanjangan SPT dibuat secara tertulis dan disampaikan ke kantor pelayan pajak, dengan lampiran :
a.    Penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 tahun pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang.
b.    Laporan keuangan sementara
c.    Surat Setoran pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.





A.    Pengertian Badan
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 

B.    Wajib Pajak Badan
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memproleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

C.    Pajak Penghasilan Badan
Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam UU KUP.
Adapun subjek dari PPh Badan yaitu :
·         Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
·         Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.

Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

D.    Kewajiban Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan
Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan :
1.    Kewajiban mendaftarkan diri
Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Untuk wajib pajak badan atau pengusaha kecil yaitu selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) maka tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran brutonya lebih dari 600 juta maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP.

Pada pasal 2 ayat (4) UU KUP, “Dirjen Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau PKP tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).

2.    Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.
Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan :
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mendapatkan data & informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun yang tidak terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen) dan yang dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak berakhir.
Ketentuan mengenai Pembukuan :
Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan:
·         memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,
·         harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menkeu,
·         diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel kas,
·         perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak.
Prinsip Taat Asas :
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Misalnya dalam penerapan : Stelsel pengakuan penghasilan; Tahun buku; Metode penilaian persediaan; Metode penyusutan dan amortisasi.

3.    Kewajiban melakukan pemotongan dan pemungutan, diantaranya yaitu:
a)    Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);
b)   Kewajiban memotong atau memungut (pot/put) pajak atas penghasilan orang lain (misalnya: PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Final); dan
c)    Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak Badan secara umum bisa diuraikan sebagai berikut:
a.    PPh Pasal 21/Pasal 26
Yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh orang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut maupun penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga ahli, yang dibayar atau terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran penghasilan, yang termasuk objek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang berstatus WP luar negeri, PPh yang dipotong mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh atau berdasarkan tax treaty.
Kewajiban PPh Pasal 21/Pasal 26 yang harus dilaksanakan, meliputi:
SPT Masa PPh Pasal 21/26 pada setiap Masa Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan disetor oleh Wajib Pajak Badan, yang terutang pada setiap masa pajak. PPh Pasal 26 yang terutang atas pembayaran kepada orang pribadi yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal 21. Pada dasarnya, PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT Masa merupakan angsuran atau pajak dibayar di muka untuk PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
SPT Masa PPh Pasal 21 pada Akhir Tahun Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan dilunasi pada suatu tahun pajak, termasuk PPh Pasal 26 yang terutang atas penghasilan orang pribadi berstatus WP luar negeri. SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Akhir Tahun Pajak sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas PPh Pasal 21 yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21  untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21 pada akhir tahun nantinya timbul kurang bayar, atau lebih bayar, atau mungkin juga nihil (PPh Pasal 21 yang sudah disetor sama dengan PPh Pasal 21 yang terutang).

b.    PPh Pasal 23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen, royalty, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta imbalan jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman, jasa konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh.

c.    PPh Pasal 26
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen; bunga; royalti; sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan; serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima/diperoleh WP luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
Penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya tetap dilakukan secara tersendiri, meskipun untuk pelaporannya digabungkan dengan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23, tergantung pada jenis objek pajaknya serta penerima penghasilannya;
a)    Jika objek pajaknya cenderung sama dengan PPh Pasal 21 dan penerima penghasilannya adalah orang pribadi berstatus WP luar negeri, maka pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26;
b)   Jika penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP luar negeri, pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26.

d.    PPh Final
Yaitu PPh yang dipotong atas jenis penghasilan tertentu atau jenis usaha tertentu yang diatur secara khusus (special treatment) melalui peraturan pemerintah. Misalnya, PPh Final atas persewaan tanah dan atau bangunan. Jadi, seandainya Wajib Pajak Badan menyewa gedung dari pihak lain untuk dipergunakan sebagai kantor, maka Wajib Pajak Badan wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Final yang terutang atas sewa kantor tersebut.

e.    PPh Pasal 25
Yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya PPh Pasal 25 yang wajib disetor setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh beserta ketentuan pelaksanaannya.

f.     PPh Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan kredit pajak berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain.

g.    PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang juga terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku.

E.     Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh Badan
Saat terutang dari pajak penghasilan badan adalah pada saat badan atau perusahaan tersebut sudah mendapat penghasilan atau laba. Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, pph badan harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (angsuran pajak).
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional temasuk hari yang diliburkan untuk penyelengaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembayaran pajak dilakukan melaui Bank Persepsi atau bank Devisi Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran secara online. Pembayaran pajak harus digunakan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapat validasi. SSP atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Apabila pajak terutang untuk satu tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak maka penyetoran kekurangan pajak yang terutang (pph pasal 29) harus dilunasi selambat-lambatnya sebelum SPT Tahunan disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan SPT, maksimal disampaikan pada akhir bulan keempat setelah tahun pajak berakhir.

Perhitungan PPh Terutang
a)    Tarif tertinggi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
b)   Wajib Pajak Badan dalan negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c)    Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh.
d)   Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal 17 yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)

Ø  Tabel Tarif Pajak Penghasilan untuk Badan Usaha

Penghasilan Kotor (Peredaran Bruto) (Rp)
Tarif Pajak
Kurang dari Rp4.8 Miliar
1% x Penghasilan Kotor
(Peredaran Bruto)
Lebih dari Rp4.8 Miliar s/d Rp50 Miliar
{0.25 - (0.6 Miliar/Penghasilan Kotor)} x PKP
Lebih dari Rp50 Miliar
25% x PKP

 

Ø  Perhitungan Bila Penghasilan Kotor Kurang dari Rp4.8 Miliar

Mari kita mulai. Misalkan di tahun 2013, PT. Adil Makmur memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp2 Miliar. Maka besar pajak penghasilan PT. Adil Makmur adalah Rp2 Miliar x1 % = Rp20 juta. Cukup sederhana perhitungannya.
Namun, perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2013, PT. Adil Makmur telah menyetor pajak penghasilan karyawan ke kas negara sebesar Rp10 juta dan pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp2 juta. Maka, pajak penghasilan terhutang PT. Adil Makmur adalah Rp20 juta - Rp10 juta - Rp2  juta = Rp8 juta. Inilah sisa pajak yang dibayar PT. Adil Makmur ke Kas Negara atas pajak penghasilan badan usaha di tahun 2013. Tentu, pajak ini bisa dicicil dengan meminta persetujuan dari kantor pajak setempat.
Dalam bentuk tabel, berikut adalah ringkasan dari perhitungan pajak penghasilan PT. Adil Makmur.
No.
Keterangan
Rp
1
Penghasilan Kotor
2.000.000.000
2
Kredit Pajak PPh 21
10.000.000
3
Kredit Pajak PPh 23
2.000.000
4
Pajak Penghasilan Badan (1% x (1)
20.000.000
5
Pajak Penghasilan Terhutang ((4)-(2)-(3))
8.000.000

 

Ø  Perhitungan Pajak Penghasilan Badan Bila Penghasilan Kotor Lebih dari Rp4.8 Miliar s/d Rp50 Miliar

Bagaimana kalau penghasilan bruto dari sebuah badan usaha di atas Rp4.8 Miliar? Karena penghasilan bruto di atas Rp4.8 Miliar, maka tarif badan usaha berbeda dan perhitungan pajaknya juga berbeda.
Misalkan PT. Sentosa Abadi memperoleh penghasilan kotor di tahun 2013 sebesar Rp10 Miliar, dan Penghasilan Kena Pajak adalah Rp3 Miliar, maka besar pajak PT. Sentosa Abadi menggunakan formula berikut:
(0.25 - (0.6 Miliar/Gross Income)) dikali Penghasilan Kena Pajak.
(0.25 - (0.6 Miliar/10 Miliar)) x 3 Miliar = Rp570 juta (19%)
Namun, perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2013, PT. Sentosa Abdi telah menyetor pajak penghasilan karyawan ke kas negara sebesar, Rp200 juta dan PPh Pasal 23 sebesar Rp100 juta. Maka, pajak penghasilan terhutang PT. Sentosa Abadi adalah Rp570 juta - Rp200 juta - Rp100 juta = Rp270 juta. Inilah sisa pajak yang dibayar PT. Sentosa Abadi ke Negara atas pajak penghasilan badan usaha tersebut di tahun 2013. Tentu, ini bisa dicicil dengan meminta persetujuan dari kantor pajak setempat.
Dalam bentuk tebal, berikut adalah ringkasan dari perhitungan pajak penghasilan PT. Sentosa Abadi.
No.
Keterangan
Rp
1
Penghasilan Kotor
10.000.000.000
2
Pengeluaran (Biaya)
7.000.000.000
3
Penghasilan Kena Pajak (PKP) (1-2)
3.000.000.000
4
Kredit Pajak PPh 21
200.000.000
5
Kredit Pajak PPh 23
100.000.000
6
Pajak Penghasilan Badan (.25 - (600.000.000/10.000.000.000)) x (3)
570.000.000
7
Pajak Penghasilan Terhutang ((6)-(4)-(5))
270.000.000

 

Ø  Perhitungan Bila Penghasilan Kotor Lebih dari Rp50 Miliar

Bagaimana kalau penghasilan bruto dari badan usaha adalah Rp70 Miliar? Karena penghasilan bruto  di atas Rp50 Miliar, maka tarif badan usaha adalah 25% dari Penghasilan Kena Pajak.
Misalkan PT. Nyiur Hijau memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp70 Miliar, dan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp28 Miliar, maka besar pajak PT. Nyiur Hijau adalah 25% x Rp28 Miliar = Rp7 Miliar
Namun, perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2013, PT. Nyiur Hijau telah menyetor pajak penghasilan karyawan ke kas negara sebesar Rp2 Miliar dan PPh Pasal 23 sebesar Rp1 Miliar. Maka, pajak penghasilan terhutang PT. Nyiur Hijau adalah Rp7 Miliar - Rp2 Miliar - Rp1 Miliar = Rp4 Miliar. Inilah sisa pajak yang dibayar PT. Nyiur Hijau ke Negara atas pajak penghasilan badan usaha tersebut di tahun 2013. Tentu, ini bisa dicicil dengan meminta persetujuan dari kantor pajak setempat.
Dalam bentuk tabel, berikut adalah ringkasan dari perhitungan pajak penghasilan PT. Nyiur Hijau.
No.
Keterangan
Rp
1
Penghasilan Kotor
70.000.000.000
2
Pengeluaran (Biaya)
42.000.000.000
3
Penghasilan Kena Pajak (PKP) (1-2)
28.000.000.000
4
Kredit Pajak PPh 21
2.000.000.000
5
Kredit Pajak PPh 23
1.000.000.000
6
Pajak Penghasilan Badan (25% x (3)
7.000.000.000
7
Pajak Penghasilan Terhutang ((6)-(4)-(5))
4.000.000.000

Tanggal Berapa Paling Lambat Untuk Pembayaran/Penyetoran PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi dan Badan

Jawaban Konsultasi  Pajak :
·         Angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi pembayaran paling lambat tanggal 15 bulan berikut. 
·         Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. 

Contoh :
1.     Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi akan melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2014 pada tanggal 31 Maret 2015 maka PPh Pasal 29 harus dibayar paling lambat tanggal 31 Maret 2015 sebelum SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2014 dilaporkan.  
2.    Apabila Wajib Pajak Badan akan melaporkan SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2014 pada tanggal 30 April 2015 maka PPh Pasal 29 harus dibayar paling lambat tanggal 30 April 2015 sebelum SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2014 dilaporkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar