Pajak
Penghasilan ( PPh ) Pasal 21 Terbaru 2015
Perubahan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2015 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-32/PJ/2015, membuat penghitungan pajak juga berubah. Berikut ini
adalah ketentuan Dasar Pengenaan
Pajak (DPP), Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP), Penghasilan
Kena Pajak (PTKP) dan tarif pajak terbaru yang berlaku saat ini.
Menurut Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21)
adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam
negeri.
A. Tarif Pajak Penghasilan ( PPh ) Pasal 21
Tarif pemotongan PPh Pasal 21 dijelaskan pada Pasal 17
ayat (1) huruf a. Tarif berikut berlaku pada Wajib Pajak yang memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP):
- WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000,00 adalah 5%
- WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 250.000.000,00 adalah 15%
- WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00 adalah 25%
- WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500.000.000,00 adalah 30%
- Untuk Wajib Pajak yang tidak
memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih tinggi dari mereka yang
memiliki NPWP.
B. Tarif Pajak Penghasilan ( PPh ) Pasal 21 Bagi Penerima Penghasilan yang
Tidak Memiliki NPWP
- Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP, dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif
lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib
pajak yang memiliki NPWP.
- Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21
yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki
NPWP.
- Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
- Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima
penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih
tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendaftarkan diri untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam tahun kalender yang
bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak
Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif
sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.
Pengertian SPT
Surat
Pemberitahuan (SPT) adalah surat oleh wajib pajak yang digunakan untuk
melaporkan penghitungan/pembayaran pajak, objek pajak/bukan objek pajak, harta,
dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bagi
pengusaha, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang sebenarnya terutang misalnya: Pengkreditan Pajak Masukan terhadap
Pajak Keluaran bagi pemotong/pemungut pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong dan
disetorkannya.
Pembagian SPT
Secara umum berdasarkan jenisnya terdapat dua jenis SPT, yaitu :
1. SPT
masa
SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas pembayaran pajak bulanan
atau Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa
Pajak. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan
takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
paling lama 3 (tiga) bulan takwim.
Macam-macam Surat Pemberitahuan Masa yaitu :
·
SPT Masa PPh Pasal 21/26
·
SPT Masa PPh Pasal 22
·
SPT Masa PPh Pasal 25
·
SPT Masa PPh Pasal 23
·
SPT Masa PPh Pasal 4 ayat
(2)
·
SPT Masa PPh Pasal 15
·
SPT Masa PPN (1195)
·
SPT Masa PPN bagi Pemungut
·
SPT Masa PPnBM (1101BM).
NO
|
JENIS PAJAK
|
YANG MENYAMPAIKAN
|
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN
|
1
|
PPh Pasal 21
|
Pemotong PPh Pasal 21
|
Tanggal 20 Bulan Takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
|
2
|
PPh Pasal 22 Impor PPN dan PPnBM Impor
|
Direktorat Bea dan Cukai
|
14 hari setelah berakhirnya Masa Pajak
|
3
|
PPh Pasal 22 Impor, PPn dan PPnBM atas Impor ( DJBC )
|
Direktorat Bea dan Cukai
|
7 hari setelah batas waktu penyetoran Pajak berakhir
|
4
|
PPh Pasal 22 Bendaharawan
|
Bendaharawan
|
Tanggal 14 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
|
5
|
PPh Pasal 22 Bahan Bakar
|
Pertamina
|
20 hari setelah Masa Pajak berikutnya
|
6
|
PPh Pasal 22 Pemungutan
Oleh Badan tertentu
|
Pemungut Pajak
|
20 hari setelah Masa Pajak berakhir
|
7
|
PPh Pasal 23
|
Pemotong PPh Pasal 23
|
Tanggal 20 bulan Takwim berikutnya setelah Masa Pajak berikutnya
|
8
|
PPh Pasal 25
|
Wajib Pajak Yang Mempunyai NPWP
|
Tanggal 20 bulan Takwim setelah Masa Pajak berakhir
|
9
|
PPh Pasal 26
|
Pemotong PPh Pasal 26
|
Tanggal 20 bulan Takwim setelah Masa Pajak berakhir
|
10
|
PPN dan PPnbM
|
PKP
|
Tanggal 20 bulan Takwim setelah Masa Pajak berikutnya
|
11
|
PPN dan PPnBM Bendaharawan
|
Bendaharawan Pemerintah
|
14 hari setelah Masa Pajak berikutnya
|
12
|
PPN dan PPnBM selain Bendaharawan
|
Selain Bendaharawan
|
20 hari setelah Masa Pajak berakhir
|
2. SPT
Tahunan
SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan atau Surat Pemberitahuan untuk
suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang
lamanya sama dengan 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. Bagian Tahun Pajak adalah
bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
Terdapat tiga macam Surat Pemberitahuan Tahunan, yaitu :
a. Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, yang terdiri dari :
·
Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Biasa (formulir 1770)
·
Surat Pemberitahuan Tahunan
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan
Bebas (formulir 1770S)
b. Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib
Pajak Badan, yang terdiri dari :
·
Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan biasa (formulir 1771)
·
Surat Pemberitahuan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika
Serikat (formulir 1771S)
c. Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak penghasilan Pasal 21 (formulir 1721)
NO
|
JENIS PAJAK
|
YANG MENYAMPAIKAN
|
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN
|
1
|
SPT Tahunan
|
Wajib Pajak yang mempunyai NPWP
|
Selambatnya 3 bulan setelah akhir tahin pajak (biasanya tanggal 31 maret
Tahun berikutnya)
|
2
|
PPh Pasal 21 Tahunan
|
Pemotong PPh Pasal 21
|
Selambatnya 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak
|
Batas Waktu Penyampaian SPT
Batas waktu
penyampaian SP adalah :
a.
Untuk Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 hari
setelah akhir masa Pajak. Untuk Surat Pemberitahuan Masa PPN paling lama akhir
bulan setelah berakhirnya Pajak.
b.
Untuk surat Pemberitahuan PPh wajib pajak orang
pribadi paling lama 3 bulan setelah akhir tahun pajak.
c.
Untuk Surat Pemberitahuan PPh wajib pajak badan paling
lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak.
Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT
Wajiib pajak
dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan paling lama 2 bulan.
Pemberitahuan perpanjangan SPT dibuat secara tertulis dan disampaikan ke kantor
pelayan pajak, dengan lampiran :
a.
Penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 tahun
pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang.
b.
Laporan keuangan sementara
c.
Surat Setoran pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan
pembayaran pajak yang terutang.
A. Pengertian
Badan
Menurut UU No.28 tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1 angka 3, Badan adalah
sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga
dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.
B. Wajib
Pajak Badan
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud
pada UU KUP, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai
hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban
objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memproleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP).
C. Pajak
Penghasilan Badan
Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan
adalah Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang
dimaksud dalam UU KUP.
Adapun subjek dari PPh Badan yaitu :
·
Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
·
Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak
didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan
dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.
Yang menjadi objek pajak PPh Badan
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
D. Kewajiban
Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan
Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan :
1. Kewajiban
mendaftarkan diri
Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak) dan apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan
penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor barang kena
pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan
tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak
(PKP). Untuk wajib pajak badan atau pengusaha kecil yaitu selama satu tahun
buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak
lebih dari Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) maka tidak diwajibkan untuk
dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk
dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran brutonya lebih dari 600 juta
maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP.
Pada pasal 2 ayat (4) UU KUP, “Dirjen Pajak
menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau PKP
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ayat (2).
2. Kewajiban
untuk menyelenggarakan pembukuan.
Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP,
yaitu WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan :
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, Pembukuan adalah proses pencatatan yang
dilakukan secara teratur untuk mendapatkan data & informasi keuangan yang
meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya
serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang
maupun yang tidak terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen)
dan yang dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak berakhir.
Ketentuan mengenai Pembukuan :
Pembukuan
tersebut harus diselenggarakan dengan:
·
memperhatikan
iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,
·
harus
diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka
Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam
bahasa asing yang diizinkan oleh Menkeu,
·
diselenggarakan
dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel kas,
·
perubahan
terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari
Dirjen Pajak.
Prinsip Taat Asas :
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan
dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah
penggeseran laba atau rugi. Misalnya dalam penerapan : Stelsel
pengakuan penghasilan; Tahun buku; Metode penilaian persediaan;
Metode penyusutan dan amortisasi.
3. Kewajiban
melakukan pemotongan dan pemungutan, diantaranya yaitu:
a)
Kewajiban
pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);
b)
Kewajiban
memotong atau memungut (pot/put) pajak atas penghasilan orang lain (misalnya:
PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Final); dan
c)
Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang
khusus berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak
Badan secara umum bisa diuraikan sebagai berikut:
a. PPh
Pasal 21/Pasal 26
Yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal
21 atas penghasilan para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut maupun
penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga ahli, yang dibayar atau
terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran penghasilan, yang
termasuk objek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang berstatus WP luar
negeri, PPh yang dipotong mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh atau
berdasarkan tax treaty.
Kewajiban PPh Pasal 21/Pasal 26 yang harus
dilaksanakan, meliputi:
SPT
Masa PPh Pasal 21/26
pada setiap Masa Pajak
Merupakan
pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan disetor oleh Wajib Pajak
Badan, yang terutang pada setiap masa pajak. PPh Pasal 26 yang terutang atas
pembayaran kepada orang pribadi yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga
wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal 21. Pada dasarnya, PPh Pasal 21 yang
dilaporkan dalam SPT Masa merupakan angsuran atau pajak dibayar di muka untuk
PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
SPT
Masa PPh Pasal 21 pada Akhir Tahun Pajak
Merupakan
pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan dilunasi pada suatu tahun
pajak, termasuk PPh Pasal 26 yang terutang atas penghasilan orang pribadi
berstatus WP luar negeri. SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Akhir Tahun Pajak
sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas PPh Pasal 21 yang telah dilaporkan
dalam SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Desember.
Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21 pada akhir tahun nantinya timbul kurang
bayar, atau lebih bayar, atau mungkin juga nihil (PPh Pasal 21 yang sudah
disetor sama dengan PPh Pasal 21 yang terutang).
b. PPh
Pasal 23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa
dividen, royalty, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh
Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta
imbalan jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman,
jasa konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh.
c. PPh Pasal 26
Yaitu
PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen; bunga; royalti; sewa dan
imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan; serta pensiun dan
pembayaran berkala lainnya yang diterima/diperoleh WP luar negeri. Ketentuan
ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
Penghitungan
dan penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya tetap dilakukan secara tersendiri,
meskipun untuk pelaporannya digabungkan dengan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal
23, tergantung pada jenis objek pajaknya serta penerima penghasilannya;
a)
Jika
objek pajaknya cenderung sama dengan PPh Pasal 21 dan penerima penghasilannya
adalah orang pribadi berstatus WP luar negeri, maka pelaporannya melalui SPT
Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26;
b)
Jika
penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP luar negeri,
pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26.
d. PPh Final
Yaitu
PPh yang dipotong atas jenis penghasilan tertentu atau jenis usaha tertentu
yang diatur secara khusus (special treatment) melalui peraturan pemerintah.
Misalnya, PPh Final atas persewaan tanah dan atau bangunan. Jadi, seandainya
Wajib Pajak Badan menyewa gedung dari pihak lain untuk dipergunakan sebagai
kantor, maka Wajib Pajak Badan wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh
Final yang terutang atas sewa kantor tersebut.
e. PPh Pasal 25
Yaitu
pembayaran angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya PPh Pasal 25 yang wajib disetor setiap
bulan dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh beserta ketentuan
pelaksanaannya.
f. PPh Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran
pajak yang terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan kredit pajak
berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan PPh yang telah
dipotong/dipungut oleh pihak lain.
g. PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP (Barang
Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong barang
mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang juga terutang
sesuai ketentuan UU yang berlaku.
E. Saat
Terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh Badan
Saat terutang dari pajak
penghasilan badan adalah pada saat badan atau perusahaan tersebut sudah
mendapat penghasilan atau laba. Pajak
Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, pph
badan harus dibayar paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (angsuran
pajak).
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan
hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional temasuk hari
yang diliburkan untuk penyelengaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh
pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembayaran pajak dilakukan melaui Bank Persepsi atau
bank Devisi Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran
secara online. Pembayaran pajak harus digunakan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan
Surat Setoran Pajak.
Surat Setoran Pajak
(SSP) atau sarana administrasi
lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh
pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapat
validasi. SSP atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah
divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Apabila pajak terutang
untuk satu tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak maka penyetoran
kekurangan pajak yang terutang (pph pasal 29) harus dilunasi selambat-lambatnya
sebelum SPT Tahunan disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan SPT, maksimal
disampaikan pada akhir bulan keempat setelah tahun pajak berakhir.
Perhitungan PPh Terutang
a)
Tarif tertinggi
25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
b)
Wajib
Pajak Badan dalan negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c)
Untuk
keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan
kebawah dalam ribuan rupiah penuh.
d)
Wajib
Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal 17 yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
Ø Tabel Tarif Pajak
Penghasilan untuk Badan Usaha
Penghasilan
Kotor (Peredaran Bruto) (Rp)
|
Tarif
Pajak
|
Kurang dari Rp4.8 Miliar
|
1% x Penghasilan Kotor
(Peredaran Bruto) |
Lebih dari Rp4.8 Miliar s/d Rp50
Miliar
|
{0.25 - (0.6 Miliar/Penghasilan
Kotor)} x PKP
|
Lebih dari Rp50 Miliar
|
25% x PKP
|
Ø Perhitungan Bila
Penghasilan Kotor Kurang dari Rp4.8 Miliar
Mari
kita mulai. Misalkan di tahun 2013, PT. Adil Makmur memperoleh penghasilan
kotor sebesar Rp2 Miliar. Maka besar pajak penghasilan PT. Adil Makmur adalah
Rp2 Miliar x1 % = Rp20 juta. Cukup sederhana perhitungannya.
Namun,
perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2013, PT. Adil Makmur telah
menyetor pajak penghasilan karyawan ke kas negara sebesar Rp10 juta dan pajak
PPh Pasal 23 sebesar Rp2 juta. Maka, pajak penghasilan terhutang PT. Adil
Makmur adalah Rp20 juta - Rp10 juta - Rp2 juta = Rp8 juta. Inilah sisa
pajak yang dibayar PT. Adil Makmur ke Kas Negara atas pajak penghasilan badan
usaha di tahun 2013. Tentu, pajak ini bisa dicicil dengan meminta persetujuan
dari kantor pajak setempat.
Dalam bentuk tabel, berikut adalah ringkasan dari
perhitungan pajak penghasilan PT. Adil Makmur.
No.
|
Keterangan
|
Rp
|
1
|
Penghasilan Kotor
|
2.000.000.000
|
2
|
Kredit Pajak PPh 21
|
10.000.000
|
3
|
Kredit Pajak PPh 23
|
2.000.000
|
4
|
Pajak Penghasilan Badan (1% x (1)
|
20.000.000
|
5
|
Pajak Penghasilan Terhutang
((4)-(2)-(3))
|
8.000.000
|
Ø Perhitungan Pajak
Penghasilan Badan Bila Penghasilan Kotor Lebih dari Rp4.8 Miliar s/d Rp50
Miliar
Bagaimana
kalau penghasilan bruto dari sebuah badan usaha di atas Rp4.8 Miliar? Karena
penghasilan bruto di atas Rp4.8 Miliar, maka tarif badan usaha berbeda dan
perhitungan pajaknya juga berbeda.
Misalkan
PT. Sentosa Abadi memperoleh penghasilan kotor di tahun 2013 sebesar Rp10
Miliar, dan Penghasilan Kena Pajak adalah Rp3 Miliar, maka besar pajak PT.
Sentosa Abadi menggunakan formula berikut:
(0.25 - (0.6 Miliar/Gross Income)) dikali Penghasilan Kena Pajak.
(0.25 - (0.6 Miliar/10 Miliar)) x 3 Miliar = Rp570 juta (19%)
(0.25 - (0.6 Miliar/Gross Income)) dikali Penghasilan Kena Pajak.
(0.25 - (0.6 Miliar/10 Miliar)) x 3 Miliar = Rp570 juta (19%)
Namun,
perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2013, PT. Sentosa Abdi telah
menyetor pajak penghasilan karyawan ke kas negara sebesar, Rp200 juta dan PPh
Pasal 23 sebesar Rp100 juta. Maka, pajak penghasilan terhutang PT. Sentosa
Abadi adalah Rp570 juta - Rp200 juta - Rp100 juta = Rp270 juta. Inilah sisa
pajak yang dibayar PT. Sentosa Abadi ke Negara atas pajak penghasilan badan
usaha tersebut di tahun 2013. Tentu, ini bisa dicicil dengan meminta
persetujuan dari kantor pajak setempat.
Dalam bentuk tebal, berikut adalah ringkasan dari
perhitungan pajak penghasilan PT. Sentosa Abadi.
No.
|
Keterangan
|
Rp
|
1
|
Penghasilan Kotor
|
10.000.000.000
|
2
|
Pengeluaran (Biaya)
|
7.000.000.000
|
3
|
Penghasilan Kena Pajak (PKP) (1-2)
|
3.000.000.000
|
4
|
Kredit Pajak PPh 21
|
200.000.000
|
5
|
Kredit Pajak PPh 23
|
100.000.000
|
6
|
Pajak Penghasilan Badan (.25 -
(600.000.000/10.000.000.000)) x (3)
|
570.000.000
|
7
|
Pajak Penghasilan Terhutang
((6)-(4)-(5))
|
270.000.000
|
Ø Perhitungan Bila
Penghasilan Kotor Lebih dari Rp50 Miliar
Bagaimana
kalau penghasilan bruto dari badan usaha adalah Rp70 Miliar? Karena penghasilan
bruto di atas Rp50 Miliar, maka tarif badan usaha adalah 25% dari
Penghasilan Kena Pajak.
Misalkan
PT. Nyiur Hijau memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp70 Miliar, dan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp28 Miliar, maka besar pajak PT. Nyiur Hijau
adalah 25% x Rp28 Miliar = Rp7 Miliar
Namun,
perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2013, PT. Nyiur Hijau telah
menyetor pajak penghasilan karyawan ke kas negara sebesar Rp2 Miliar dan PPh
Pasal 23 sebesar Rp1 Miliar. Maka, pajak penghasilan terhutang PT. Nyiur Hijau
adalah Rp7 Miliar - Rp2 Miliar - Rp1 Miliar = Rp4 Miliar. Inilah sisa pajak
yang dibayar PT. Nyiur Hijau ke Negara atas pajak penghasilan badan usaha
tersebut di tahun 2013. Tentu, ini bisa dicicil dengan meminta persetujuan dari
kantor pajak setempat.
Dalam bentuk tabel, berikut adalah ringkasan dari
perhitungan pajak penghasilan PT. Nyiur Hijau.
No.
|
Keterangan
|
Rp
|
1
|
Penghasilan Kotor
|
70.000.000.000
|
2
|
Pengeluaran (Biaya)
|
42.000.000.000
|
3
|
Penghasilan Kena Pajak (PKP) (1-2)
|
28.000.000.000
|
4
|
Kredit Pajak PPh 21
|
2.000.000.000
|
5
|
Kredit Pajak PPh 23
|
1.000.000.000
|
6
|
Pajak Penghasilan Badan (25% x (3)
|
7.000.000.000
|
7
|
Pajak Penghasilan Terhutang
((6)-(4)-(5))
|
4.000.000.000
|
Tanggal Berapa Paling
Lambat Untuk Pembayaran/Penyetoran PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi dan Badan
Jawaban
Konsultasi Pajak :
·
Angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib
pajak badan dan wajib pajak orang pribadi pembayaran paling lambat tanggal 15
bulan berikut.
·
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan
dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Contoh :
1.
Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi akan melaporkan SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2014 pada tanggal 31 Maret 2015 maka PPh Pasal
29 harus dibayar paling lambat tanggal 31 Maret 2015 sebelum SPT Tahunan PPh
Orang Pribadi Tahun 2014 dilaporkan.
2.
Apabila Wajib Pajak Badan akan melaporkan SPT Tahunan
PPh Badan Tahun 2014 pada tanggal 30 April 2015 maka PPh Pasal 29 harus dibayar
paling lambat tanggal 30 April 2015 sebelum SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2014
dilaporkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar