MUNAKAHAT
A.
KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN
Pernikahan
adalah sunnatullah yang berlaku umum bagi semua makhluk Nya. Al-Qur`ān
menyebutkan dalam Q.S. adz-aáriy±t /51:49. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.“ Islam sangat
menganjurkan pernikahan, karena dengan pernikahan manusia akan berkembang, sehingga kehidupan umat
manusia dapat dilestarikan. Tanpa pernikahan regenerasi akan terhenti,
kehidupan manusia akan terputus, dunia pun akan sepi dan tidak berarti, karena
itu Allah Swt. mensyariatkan pernikahan sebagaimana difirmankan dalam Q.S.
an-Nahl/16:72. Artinya: “ Allah menjadikan dari kamu istri-istri dari jenis
kamu sendiri dan menjadikan bagimu dan istri-istri kamu itu anak-anak dan
cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah.”
1.
Pengertian
Munakahat berarti pernikahan atau
perkawinan. Secara bahasa, kata nikah berarti “mengumpulkan, menggabungkan,
atau menjodohkan, bersatu”. Dalam istilah syariat, nikah itu berarti melakukan
suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan
yang bukan mahramnya yang menimbulkan
hak dan kewajiban masing-masing demi
terwujudnya keluarga (rumah tangga) bahagia, yang di ridai oleh Allah SWT.
Dalam Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974, definisi atau pengertian perkawinan atau
pernikahan ialah "ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
berbahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pernikahan
harus dilakukan untuk membina kehidupan rumah tangga (suami istri) yang sah,
dalam kaitan ini terdapat persyaratan dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua
belah pihak. Keabsahan perkawinan merupakan azas pokok terciptanya masyarakat
yang baik dan sempurna, oleh karena sebenarnya perkawinan merupakan pertalian
yang sangat kokoh dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami
istri dan anak turunnya, tetapi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya,
bahkan antara satu suku/bangsa dengan suku/bangsa lainnya. Hubungan yang baik
dalam setiap keluarga dan juga dengan keluarga lainnya, merupakan landasan
terciptanya suatu masyarakat yang baik dan saling bekerja sama, hidup tenteram
dan aman, sejahtera dan bahagia lahir bathin di dunia maupun di akhirat.
Nikah
merupakan perbuatan yang telah dicontohkan olehNabi Muhammad SAW atau sunah
Rasul. Dalam hal ini, disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW yang artinya, “Dari
Anas bin Malik r.a., bahwasannya Nabi SAW memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya,
beliau bersabda, Akan tetapi aku salat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi
wanita, barang siapa yang tidak suka dengan perbuatanku maka dia bukanlah dari
golonganku.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Hukum Nikah
Menurut sebagian besar ulama,
hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan. Hukum nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib, makruh, atau
haram. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.
Sunah
Bagi orang yang ingin menikah,
mampu menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari perzinahan - Walaupun
tidak segera menikah – maka hukum nikah adalah sunah. Rasulullah bersabda,
“Wahai para pemuda, jika diantara kamu sudah memiliki kemampuan untuk menikah,
hendaklah iamanikah, karena pernikahan itu dapat menjada pandangan mata dan
lebih memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah,
hendaklah ia berpuasa, sebab itu jadi penjaga baginya.” (H.R. Bukhari dan
Muslim).
2. Wajib
Bagi orang yang ingin menikah,
mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zina jika tidak segera menikah, maka
hukum nikah adalah wajib.
3.
Makruh
Bagi orang yang ingin menikah,
tetapi belum mampu member nafkah terhadap istri dan anak-anaknya, maka hukum
nikah adalah makruh.
4.
Haram
Bagi orang yang bermaksud
menyakiti wanita yang akan ia nikahi, maka hukum nikah adalah haram.
3. Tujuan Pernikahan
Secara umum, tujuan pernikahan
menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau
sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan agama Islam. Apabila tujuan pernikahan yang bersifat umum
itu diuraikan secara terperinci tujuan pernikahan yang islami dapat dikemukakan
sebagai berikut:
·
Untuk memperoleh
rasa cinta dan kasih sayang. Allah SWT berfirman: ”Dan jadikan-Nya di antara
kamu rasa kasih dan sayang…” (Q.S. Ar-Rum, 30: 21)
·
Untuk memperoleh ketenangan hidup (sakinah).
Allah SWT berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kebiasaan-Nya ialah Dia
menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya…” (Q.S. Ar-Rum, 30:21)
·
Untuk mewujudkan
keluarga bahagia di dunia dan akhirat.
·
Untuk memenuhi
tuntutan naluri manusia yang asasi. Rasulullah saw., bersabda: Artinya: “Dari
Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda:’wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya,
kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Nikahilah wanita karena
agamanya, kalau tidak kamu akan celaka" (¦R. Al-Bukh±ri dan Muslim).
·
Untuk mendapatkan
ketenangan hidup. Allah Swt. berfirman: Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda
(kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah Swt.) bagi kaum yang
berpikir”. (Q.S. ar-Rμm/30:21).Untuk membentengi akhlak. Setiap manusia normal
secara fitrah akan mengalami suatu masa puber, mulai merasa tertarik terhadap
lawan jenisnya. Islam sebagai Agama Fitroh memberikan jalan keluar dengan
disyari’atkannya pernikahan, sehingga perasaan yang selalu menuntut pemenuhan
ini tersalurkan dengan baik dan benar. Dengan menikah manusia akan dapat terhindar
dari perbuatan tercela berupa zina dan lain-lain.
·
Untuk
meningkatkan ibadah kepada Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para
pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah,
karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji
(kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak
mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi
dirinya”. (¦R. al-Bukh±ri dan Muslim) Rasulullah saw. bersabda: “Jika kalian
bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!”. Mendengar sabda Rasulullah para sahabat
keheranan dan bertanya: “Wahai
Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?” Nabi
Muhammad saw. menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah
mereka berdosa? “ Jawab para shahabat,
”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi, “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan
istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (¦R. Muslim).
·
Untuk mendapatkan
keturunan yang salih. Setelah terjadinya pernikahan kemudian pada gilirannya
setiap manusia akan mengalami kerinduan akan hadirnya anak, sebagai perwujudan
adanya sifat kebapakan dan keibuan yang timbul dari seorang laki-laki dan
perempuan. Dalam kaitan ini pernikahan lebih banyak diharapkan akan memberikan
keturunan akan tetapi keturunan yang baik dan sah secara
hukum.Allah Swt.
berfirman: “Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri
dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang
batil dan mengingkari nikmat Allah?”. (Q.S. an-Nahl/16:72).
·
Untuk menegakkan
rumah tangga yang Islami. Dalam al-Qur'±n disebutkan bahwa Islam membenarkan
adanya talaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi
mempertahankan keutuhan rumah tangga. Firman Allah Swt.: “Talaq (yang dapat
dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
dzalim”. (Q.S. al-Baqarah/2:229).
·
Mengikuti sunnah
Rasul dan meningkatkan ketaqwaan. Rasulullah saw. pernah mencela terhadap
seseorang yang bertekat untuk berpuasa, dan bangun (tidak tidur) setiap hari
guna konsentrasi beribadah serta bertekad tidak akan menikah.
4. Rukun Nikah
Rukun nikah ada lima macam yakni
sebagai berikut:
1)
Ada calon suami, dengan syarat: laki-laki yang sudah berusia dewasa (19
tahun), beragama Islam, tidak dipaksa/terpaksa, tidak ssedang dalam ihram haji
atau umrah, dan bukan mahram calon istrinya.
2)
Ada calon istri, dengan syarat: wanita yang sudah cukup umur (16 tahun):
bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan
mahram bagi calon suami dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
3)
Ada wali nikah, yaitu orang yang menikahkan mempelai laki-laki dengan
mempelai wanita atau mengizinkan pernikahannya.
a)
Wali Nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai
wanita yang akan dinikahkan.
b)
Wakil Hakim, yaitu kepala negara yang beragama Islam.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang wali nikah adalah sebagai berikut:
a) Beragama Islam.
b) Laki-laki.
c) Balig dan berakal.
d) Merdeka dan bukan hamba sahaya.
e) Bersifat adil.
f) Tidak sedang ihram haji atau umrah.
4)
Ada dua orang saksi. Firman Allah Swt.: “Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kalian”. (Q.S. at-Țal±q/65:2).
Syarat
saksi adalah:
1)
Berjumlah dua orang, bukan budak, bukan wanita, dan bukan
2)
Tidak boleh merangkap sebagai saksi walaupun memenuhi
3)
Sunnah dalam keadaan rela dan tidak terpaksa.
5)
Ada akad nikah yakni ucapan ijab kabul. Ijab adalah ucapan wali (dari pihak mempelai wanita),
sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Qabal adalah ucapan mempelai
laki-laki sebagai tanda penerimaan. Suami wajib memberikan mas kawin (mahar) kepada
istrinya, tetapi mengucapkannya dalam akad nikah hukumnya sunnah. Suruhan untuk
memberikan mas kawin terdapat dalam Al-Qur’an yang artinya: “Berikanlah mas
kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan…” (Q.S. An-Nisa’, 4: 4)
Syarat
ijab kabul adalah:
1)
Tidak tergantung dengan syarat lain.
2)
Tidak terikat dengan waktu tertentu.
3)
Boleh dengan bahasa asing.
4)
Dengan menggunakan kata “tazwij” atau “nikah”, tidak boleh
5)
Qabul harus dengan ucapan “Qabiltu nikahaha/tazwijaha” dan orang fasik. kwalifikasi
sebagai saksi. dalam bentuk kinayah (sindiran), karena kinayah membutuhkan niat
sedang niat itu sesuatu yang abstrak.boleh didahulukan dari ijab.
5.
Muhrim
Menurut pengertian bahasa, muhrim
berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim adalah wanita yang haram
dinikahi. Adapun penyebab seorang wanita haram dinikahi ada empat macam, yaitu
sebagai berikut:
•
Wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
a. Ibu kandung dan seterusnya ke
atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b. Anak perempuan kandung dan
seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
c. Saudara perempuan (sekandung, sebapak atau
seibu).
d. Saudara perempuan dari bapak
e. Saudara perempuan dari ibu.
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan
seterusnya ke bawah.
g. Anak perempuan dari saudara
perempuan dan seterusnya ke bawah.
•
Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan:
a. Ibu yang menyusui.
b. Saudara perempuan sesusuan.
•
Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan:
a. Ibu dari istri (mertua).
b. Anak tiri (anak dari istri
dengan suami lain), apabila suami telah berkumpul dengan ibunya.
c. Ibu tiri (istri dari ayah),
baik sudah dicerai atau belum. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan janganlah
kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini oleh ayahmu.” (Q.S. An-Nisa’, 4:
22)
d. Menantu (istri dari anak laki-laki),
baik sudah dicerai maupun belum.
•
Wanita yang haram dinikahi karena pertalian muhrim dengan istri.
Misalnya, haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang
bersaudara, terhadap seorang perempuan dengan bibinya, terhadap seorang
perempuan dengan kemenakannya.
6.
Kewajiban Suami dan Istri
Secara umum kewajiban
suami-istri adalah sebagai berikut:
•
Kewajiban Suami
a. Memberi nafkah, sandang,
pangan, dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya, sesuai dengan
kemampuan yang diusahakan secara maksimal.
b. Memimpin serta membimbing istri
dan anak-anak, agar menjadi orang yang berguna, keluarga, agama, masyarakat,
serta bangsa dan negaranya.
c. Bergaul dengan istri dan
anak-anak dengan baik (makruf).
d. Membantu istri dalam tugas
sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi anak
saleh.
•
Kewajiban Istri
a. Taat kepada suami dalam
batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam.
b. Memelihara diri serta
kehormatan dan harta benda suami, baik di hadapan atau di belakangnya.
c. Membantu suami dalam memimpin
kesejahteraan dan keselamatan keluarga.
d. Menerima dan menghormati
pemberian suami walaupun sedikit, serta mencukupkan nafkah yang diberikan
suami, sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya, hemat, cermat, dan bijaksana.
e. Hormat dan sopan kepada suami
dan keluarganya
f. Memelihara, mengasuh, dan
mendidik anak agar menjadi anak yang saleh.
Pernikahan
yang Tidak Sah
Di
antara pernikahan yang tidak sah dan dilarang oleh Rasulullah saw. adalah sebagai berikut.
a.
Pernikahan Mut`ah, yaitu pernikahan yang dibatasi untuk jangka waktu tertentu,
baik sebentar ataupun lama. Dasarnya adalah hadis berikut: “Bahwa Rasulullah saw. melarang pernikahan
mut’ah serta daging keledai kampung (jinak) pada saat Perang Khaibar. (¦R.
Muslim).
b.
Pernikahan syighar, yaitu pernikahan dengan persyaratan barter tanpa pemberian
mahar. Dasarnya adalah hadis berikut: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang
nikah syighar. Adapun nikah syighar yaitu seorang bapak menikahkan seseorang
dengan putrinya dengan syarat bahwa seseorang itu harus menikahkan dirinya
dengan putrinya, tanpa mahar di antara keduanya.” (¦R. Muslim)
c.
Pernikahan muhallil, yaitu pernikahan seorang wanita yang telah ditalak tiga
oleh suaminya yang karenanya diharamkan untuk rujuk kepadanya, kemudian wanita
itu dinikahi laki-laki lain dengan tujuan untuk menghalalkan dinikahi lagi oleh
mantan suaminya. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Rasulullah saw. melaknat
muhallil dan muhallal lahu”. (¦R. at-Tirmiżi)
d.
Pernikahan orang yang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang melaksanakan
ihram haji atau 'umrah serta belum memasuki waktu tahallul. Rasulullah saw.
bersabda: “Orang yang sedang melakukan ihram tidak boleh menikah dan
menikahkan.” (¦R. Muslim)
e.
Pernikahan dalam masa iddah, yaitu pernikahan di mana seorang laki-laki menikah
dengan seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah, baik karena perceraian
ataupun karena meninggal dunia. Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu
ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya”. ( Q.S.
al-Baqarah/2:235)
f.
Pernikahan tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan
seorang wanita tanpa seizin walinya. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah
kecuali dengan wali.”
g.
Pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab, berdasarkan
firman Allah Swt.:
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. (Q.S. al-Baqarah/2:221)
h.
Menikahi mahram, baik mahram untuk selamanya, mahram karena pernikahan atau
karena sepersusuan.
Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
1.
Dalam UU No 1
tahun 1974 pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan
menurut hokum agama masing-masing . yaitu , pernikahan sah apabila dilakukan
menurut hokum islam yautu berupa akad yang sangat kuat untuk pelaksanaaanya
merupakan ibadah .
2.
Pencatatan
perkawinan . Dalam 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa setiap
perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku fungsinya agar , terjaminnya ketertiban
perkawinan bagi masyarakat islam , pencatatn nikah harus di catat oleh pegawai
pencatat nikah , harus dilaksanakan di hadapan pengawas pegawai pencatat nikah
.
3.
Tujuan dan batasan
– batasan poligami . Dalam 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (12) pada azazsnya bahawa
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri sedangkan seorang perempuan hanya boleh
mempunyai satu suami . suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikendaki
oleh pihak yang bersangkutan . syarat
yang harus dipenuhi : adanya persetujuan pihak istri , adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak mereka , adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap anak dan istri .
Hak
dan Kedudukan Wanita dalam Keluarga Berdasarkan Hukum Islam .
1.
Wanita dalam
Islam , wanita merupakan salah satu makluk ciptaan ALLAH SWT. Salah satu hikmah
dari wanita adalah adanya wanita maka
proses berlangsungnya kehidupan manusia akan terus berjalan sampai datangnya
hari akhir. Oleh karan itu ajaran islam sangat memuliakan wanita dengan bebagai
peran .
2.
Hak wanita , hak
adalah ketetapan dan kesesuainya dengan realistis / hal hal yang ditetapkan
dengan kententuan syari’ dan kecendrungan untuk menerapkannya . Keluarga
meruapakan bersatu pria dan wanita melalui jalur pernikahan , dan bertambahnya
jumlah keluarga maka status pria dan wanita tersebur pun menjadi bertambah .
adapun hak-hak nya :
·
Hak untuk
memiliki kebebasan pribadi
·
Hak rumah sebagai
tempat privasi
·
Hak untuk
mengemukakan pendapat
·
Hak untuk menuntu
ilmu
·
Hak terkait
kepemilikan harta
·
Hak dalam
pernikahan
·
Hak dalam
berwasiat
3.
Kedudukan wanita
dalam keluarga . fungsi pasangan adalah saling melengkapi , sehingga kalaupun
ada perbedaan di antara mereka justru untuk menjadi ajang untuk saling tolong
menolong . seorang suami adalah pemipin bertanggung jawab atas pimpinannya
sedangkan seorang istri adalah seorang pemimpin di rumah suaminya , karna hanya
wanita yang bias mengandung dan melahirkan sehingga adanya si penerus generasi
, oleh sebab itu tugas ibu menagntar anaknya agar bertakwa sudah mulai sejak
anak dalam kandungan sampai anak tersebut bertumbuh dewasa.
Selain sebagai ibu wanita juga berperan sebgai
istri dan pendamping suami , sebagai penentu utama dan pengaruh yang besar
dalam kesuksesan seorang suami
.Demikian istri yang shalihah
Rasullah SAW memn=berikan gambaran sebagai “Sebaik-baiknya perhiasan dunia ,
adalah istri shaliahah “ . istri bias memberiakan inspirasi kepada suami denagn
kontribusinya melalui :
·
Ketaatan sebagai
bentuk bakti istri terhadap suami , sepanjang ketaaatan nya tersebut tidak
bertantangan daengan syar’iat .
·
Iklas dan
bersyukurr atas pemberian suami , meskipun sedikit .
·
Pelayanan seorang
istri kepada suami .
·
Cara bagaimana
seorang istri dalam menjaga harata benada suaminya , menjaga rahasianya dan
memperhatikan sanak saudranya
·
Memberikan
semangat dan motivasi kepada suami agar suami tidak mudah putus asa
·
Menjafga
penampilan diri , dengan menjaga kecantikan lahir batin , merawat keindahan
fisik maupun psikis .
Adapun
tanda-tanda seorang istri shalihah adalah memiliki sikap baik dalam berbagai
hal , selalu menjaga kehormatan diri , baik suami sedang dirumah maupun diluar
rumah , senantiasa menjaga suami dri foddan luar yang menjerumuskan , dan
selalu taat dengan ketaaatan yang berdasarkan rasa cinta kepada ALLAH SWT dan
Rasul-Nya .
7.
Perceraian
Perceraian berarti pemutusan
ikatan perkawinan antara suami dan istri. Sebab terjadi perceraian adalah
perselisihan atau pertengkaran suami-istri yang sudah tidak dapat didamaikan
lagi, walaupun sudah didatangkan hakim (juru damai) dari pihak suami dan pihak
istri. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap wanita (istri) yang meminta cerai kepada
suaminya tanpa alasan, haramlah baginya wangi-wangi surga.” (H.R. Ashabus Sunan
kecuali An-Nasa’i)
Hal-hal yang dapat memutuskan
ikatan perkawinan adalah meninggalnya salah satu pihak suami atau istri, talak,
fasakh, khulu’, li’an, ila’, dan zihar. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.
Talak
Pengertian Talak menurut bahasa Arab
adalah melepaskan ikatan, sedangkan yang dimaksud di sini adalah melepaskan
atau memutuskan ikatan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak atau perkataan
lain yang senada dengan maksud talak atau dengan mengucapkan secara suka rela
ucapan talak dari pihak suami kepada istrinya. Bila problem keluarga tidak
dapat diatasi, maka akan menjadi sumber konflik yang kemudian bisa meningkat
pada percekcokan yang berkepanjangan. Bila percekcokan ini tidak dapat diatasi
walaupun telah diusahakan dengan berbagai cara untuk Islah, dan dalam kehidupan
rumah tangga tidak memungkinkan lagi terwujud ketenangan dan ketentraman, maka
dalam kondisi seperti ini talak dapat dilaksanakan dengancara yang baik. Atau
juga apabila suami istri tidak dapat memenuhi kewajiban masing-masing sesuai
dengan ketentuan agama. Jadi talak hanya dapat dilaksanakan jika keadaan sudah
sangat memaksa dan usaha lain sudah tidak dapat diharapkan dapat
menyelesaikannya.
Talak
dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.
Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya untuk
pertama kalinya, dan suami boleh rujuk (kembali) kepada istri yang telah
ditalaknya selama masih dalam masa ‘iddah.
b.
Talak Ba’i n, yaitu talak yang suami tidak boleh rujuk (kembali) kepada
istri yang ditalaknya itu, melainkan mesti dengan akad nikah baru.
Selesai akad nikah biasanya
mengucapkan ta’lik talak, yaitu talak yang digantungkan dengan sesuatu (syarat
atau perjanjian). Misalnya, suami berkata kepada istrinya, “bila selama 3 bulan
berturut-turut saya tidak memberi nafkah kepada engkau, berarti saya telah
mentalak engkau.” Ta’lik talak hukumnya sah dan dibenarkan syara’.
Hukum
Talak
Dalam
Agama Islam, hukum asal talak adalah makruh, yaitu boleh tapi tidak
disukai
oleh Allah swt Bila memperhatikan situasi dan kondisinya serta
kemaslahatan dan kemudlaratan talak, maka hukum asal tersebut dapat
menjadi :
1.
Wajib, yaitu bila perselisihan sudah memuncak dan hakim memandang perlu untuk
talak.
2.
Sunnat, bila suami sudah tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya dengan layak,
atau bila istri tidak dapat menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
3.
Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haidh, atau ketika
istri suci setelah adanya hubungan suami istri
b.
Fasakh
Fasakh adalah pembatalan pernikahan
antara suami-istri karena sebab-sebab tertentu. Fasakh dilakukan oleh hakim
agama, karena adanya pengaduan dari istri atau suami dengan alasan yang dapat
dibenarkan.
Fasakh
yaitu rusaknya hubungan pernikahan antara suami istri karena :
1.
Sebab yang merusak aqad nikah, misalnya :
a)
Setelah diadakan pernikahan secara sah kemudian diketahui bahwa istri tersebut
merupakan muhrim dari suaminya.
b)
Salah seorang dari suami istri tersebut murtad (keluar dari ajaran Islam).
c)
Pasangan yang semula sama-sama musyrik, kemudian salah satu atau keduanya masuk
Islam.
2.
Terdapat sebab-sebab yang menghalangi tujuan pernikahan, seperti :
a)
Adanya penipuan dalam pernikahan tersebut, semula suami mengaku orang baik-baik
kemudian diketahui ternyata seorang penjahat.
b)
Suami atau istri mengidap penyakit/ cacat yang dapat mengganggu hubungan suami
dan istri.
c)
Suami dihukum/ dipenjara selama lima tahun atau lebih.
d)
Suami dinyatakan hilang.
Akibat perceraian dengan fasakh,
suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya. Berbeda dengan khulu’, fasakh
tidak memengaruhi bilangan talak. Artinya, walaupun fasakh dilakukan lebih dari
tiga kali, bekas suami-istri itu boleh menikah kembali, tanpa bekas istrinya
harus menikah dulu dengan laki-laki lain.
c.
Khulu’
Menurut istilah bahasa, khulu’
berarti tanggal. Dalam ilmu fikih, khulu’ adalah talak yang dijatuhkan suami
kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri, baik dengan jalan
mengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan memberikan sejumlah uang
(harta) yang disetujui oleh mereka berdua.
Khulu’ diperkenankan dalam Islam,
dengan maksud untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi istri. Allah
SWT berfirman yang artinya, “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Q.S.
Al-Baqarah, 2: 229)
Akibat perceraian dengan cara khulu’,
suami tidak dapat rujuk, walaupun bekas istrinya masih dalam masa ‘iddah.
Berbeda dengan fasakh, khulu’ dapat memengaruhi bilangan talak. Artinya, kalau
sudah tiga kali dianggap tiga kali talak (talak ba’in kubra), sehingga suami
tidak boleh menikah lagi dengan bekas istrinya, sebelum bekas istrinya itu
menikah dulu dengan laki-laki lain, bercerai, dan habis masa ‘iddah-nya.
d.
Li’an
Li’an adalah sumpah suami yang
menuduh istrinya berzina (karena suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi
yang melihat istrinya berzina). Dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim,
dan pada ucapan kelima kalinya dia mengatakan, “Laknat (kutukan) Allah akan
ditimpakan atas diriku, apabila tuduhanku itu dusta.”
1.
Contoh sumpah suami adalah : Saya bersumpah dengan nama Allah, Wallahi bahwa
sesungguhnya saya benar dengan tuduhan saya bahwa istri saya yang bernama . . .
(sambil ditunjuk) telah berbuat “zina” dan bahwa anak yang sedang/telah
dikandung/ dilahirkannya bukan anak saya. Ucapan sumpah tersebut harus diulangi
sampai 4 kali, kemudian dilanjutkan dengan perkataan kelima yaitu : Atas saya
laknat Allah swt, apabila saya berdusta dalam tuduhan ini.
Apabila
seorang suami telah mengucapkan kalimat li’an tersebut,maka berlakulah beberapa
hukum di bawah ini :
a)
Suami bebas dari had hukuman menuduh zina (dicambuk 80 kali)
b)
Istri wajib dihukum dengan had zina (dicambuk 100 kali dan diasingkan selama
satu tahun atau dirajam bila ia muhshan)
c)
Suami istri bercerai selama-lamanya.
d)
Bila ada anak, anak itu bernasab hanya pada ibunya dan tidak ada hubungan nasab
dengan ayahnya (ayah yang meli’an ibunya). Seorang istri yang terli’an dapat
menolak tuduhan suaminya sehingga ia terbebas dari hukuman had zina, penolakan
tersebut berupa sumpah empat kali.
Apabila suami sudah menjatuhkan
li’an, berlakulah hukum rajam terhadap istrinya, yaitu dilempari dengan batu
yang sedang sampai mati. Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang li’an ini
terdapat dalam Surah An-Nur, 24: 6-10.
2.
Contoh sumpah penolakan istri adalah : Saya bersumpah dengan nama Allah,
Wallahi bahwa suamiku . . . yang menuduhkan berzina adalah dusta semata
(diulang sampai 4 kali). Kemudian dengan ucapan yang kelima : bahwa atasku
la’nat Allah swt. jika suamiku berkata benar. Dengan adanya sumpah penolakan
istri ini maka konsekwensi hukumnya adalah :
a)
Gugur atas istri hukuman had zina
b)
Apabila ada anak, maka anak tersebut sah bernasab pada ayahnya.
Untuk
pelaksanaan di Indonesia, dalam Kompilasi hukum Islam di Indonesia pasal 128
disebutkan bahwa : Li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang
pengadilan Agama.
e. Ila’
Ila’ berarti sumpah suami yang
mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama 4 bulan atau lebih,
atau dalam masa yang tidak ditentukan. Jika sebelum 4 bulan dia kembali kepada
istrinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat).
Akan tetapi, jika sampai 4 bulan ia
tidak kembali pada istrinya, maka hakim berhak menyuruhnya untuk memilih di
antara dua hal, kembali kepada istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau
mentalak istrinya. Apabila suami tidak bersedia menentukan dengan pilihannya,
maka hakim memutuskan bahwa suami telah mentalak istrinya dengan talak ba’in
sugra, sehingga ia tidak dapat rujuk lagi.
Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan
tentang Ila’ ialah Surah Al-Baqarah, 2: 226-227.
f.
Zihar
Zihar adalah ucapan suami yang
menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti suami berkata kepada istrinya,
“Punggungmu sama dengan punggung ibuku.” Jika suami mengucapkan kata-kata
tersebut, dan tidak melanjutkannya dengan mentalak istrinya, wajib baginya
membayar kafarat, dan haram meniduri istrinya sebelum kafarat dibayar.
8. ‘Iddah
‘Iddah berarti masa menunggu bagi
istri yang ditinggal mati atau bercerai dengan suaminya untuk dibolehkan
menikah kembali dengan laki-laki lain. Tujuan ‘iddah adalah untuk melihat perkembangan,
apakah istri yang bercerai itu hamil atau tidak.
Manfaat
adanya masa iddah
1.
Untuk mengetahui dengan pasti berisi atau tidaknya kandungan perempuan
tersebut.
2.
Untuk memberi kesempatann berfikir kepada bekas suami istri itu, apakah
keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk
atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk maka hal itu merupakan jalan
yang sangat baik.
Ketentuan-ketentuan
Masa Iddah
1.
Bagi istri yang dicerai qabla ad dukhul (belum dikumpuli oleh suami), maka
baginya tidak ada masa iddah dan suami disunatkan memberikan mut’ah (pemberian
yang dapat menyenangkan hati bekas istri). Dan bekas istri boleh langsung kawin
dengan laki-laki lain begitu selesai dicerai oleh suaminya.
2.
Bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa iddahnya adalah 4 bulan
10 hari. Sedangkan bila ditinggal oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka
menurut jumhur ulama masa iddahnya sampai melahirkan anaknya.
3.
Bagi istri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya
sampai melahirkan anaknya
4.
Bagi istri yang dicerai, sedang ia masih dalam keadaan normal haidnya, maka
iddahnya tiga kali quru’ (tiga kali suci
5.
Bagi istri yang diicerai dalam keadaan tidak haid lagi, baik karena menopause
(usia lanjut) atau karena masih kecil atau sudah dewasa tapi tidak pernah haid,
maka iddahnya adalah tiga bulan
Lama masa ‘iddah adalah sebagai
berikut:
1.‘Iddah karena suami wafat
a. Bagi istri yang tidak hamil,
baik sudah campur dengan suaminya yang wafat atau belum, masa ‘iddah-nya adalah
empat bulan sepuluh hari. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 234)
b. Bagi istri yang sedang hamil,
masa ‘iddah-nya adalah sampai melahirkan. (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
2. ‘Iddah karena talak, fasakh, dan
khulu’
a. Bagi istri yang belum campur
dengan suami yang baru saja bercerai dengannya, tidak ada masa ‘iddah. (Q.S.
Al-Ahzab, 33: 49)
b. Bagi istri yang sudah campur,
masa ‘iddah-nya adalah:
1) Bagi yang masih mengalami menstruasi,
masa ‘iddah-nya ialah tiga kali suci. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 228)
2)Bagi istri yang tidak mengalami
menstruasi, misalnya karena usia tua (menopause), masa ‘iddah-nya adalah 3
bulan. (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
3) Bagi istri yang sedang mengandung,
masa ‘iddah-nya ialah sampai dengan melahirkan kandungannya (Q.S. At-Talaq, 65:
4)
9.
Rujuk
Rujuk berarti kembali, yaitu
kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya sebagaimana semula, selama
istrinya masih dalam masa ‘iddah raj’iyah. Hukum rujuk asalnya mubah, artinya
boleh rujuk dan boleh pula tidak. Akan tetapi, hukum rujuk bisa berubah,
sebagai berikut:
1. Sunah, misalnya apabila rujuknya suami
kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk memperbaiki sikap dan perilaku
serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga bahagia.
2. Wajib, misalnya bagi suami mentalak
salah seorang istinya, sedangkan sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan
pembagian waktunya.
3. Makruh (dibenci), apabila meneruskan
perceraian lebih bermanfaat dari pada rujuk.
4. Haram, misalnya jika maksud rujuknya
suami adalah untuk menyakiti istri atau untuk mendurhakai Allah SWT.
Rukun rujuk ada 4 macam, yaitu
sebagai berikut:
1.
Istri sudah bercampur dengan suami yang mentalaknya dan masih berada
pada masa ‘iddah raj’iyah.
2.
Keinginan rujuk suami atas kehendak sendiri, bukan karena dipaksa.
3.
Ada dua orang saksi, yaitu dua orang laki-laki yang adil. (Q.S.
At-Talaq, 65: 2)
4. Ada sigat atau ucapan rujuk, misalnya
suami berkata kepada istri yang diceraikannya selama masih berada dalam masa
‘iddah raj’iyah, “Saya rujuk kepada engkau!”
HIKMAH
PERNIKAHAN
Fuqaha (ulama fikih) menjelaskan
tentang hikmah-hikmah pernikahan yang islami, antara lain:
1.
Memenuhi
kebutuhan seksual dengan cara yang diridai Allah (cara yang islami), dan
menghindari cara yang dimurkai Allah seperti perzinaan atau homoseks (gay atau
lesbian).
2.
Pernikahan
merupakan cara yang benar, baik, dan diridai Allah untuk memperoleh anak serta
mengembangkan keturunan yang sah.
3.
Melalui
pernikahan, suami-istri dapat memupuk rasa tanggung jawab membaginya dalam
rangka memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya, sehingga memberikan
motivasi yang kuat untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya.
4.
Menjalin hubungan
silaturahmi antara keluarga suami dan keluarga istri, sehingga sesama mereka
saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak tolong-menolong dalam
dosa dan permusuhan.
5.
Menjauhkan diri dari perbuatan tercela (zina). Islam mengajarkan agar setiap manusia
mempertanggung jawabkan keberadaannya.
6.
Ketenteraman dan ketenangan hidup. Terpenuhinya
kebutuhan biologis secara tenang dan aman akan semakin menyuburkan jalinan
cinta kasih antara suami istri, sehingga keduanya akan memperoleh ketentraman
dan ketenangangan hidup, minimal dalam kaitannya dengan kebutuhan biologis
antara keduanya.
7.
Terpelihara dari perbuatan tercela dan maksiat. Ketentraman dan ketenangan hidup yang telah
diraih seperti tersebut di atas akan menumbuh suburkan kesadaran akan adanya
tanggung jawab masing-masing untuk menjaga dan melestarikannya. Masing-masing
akan berusaha untuk berbuat yang terbaik, sehingga kecil kemungkinannya untuk
melirik orang lain yang bukan suami/ istrinya, dan menjurus pada perbuatan zina
atau maksiat lainnya.
8.
Melestarikan dan memelihara keturunan. Dengan
adanya perkawinan maka terjaminlah kelangsungan hidup manusia secara sah dan
manusiawi, dalam arti secara hukum maupun pertalian nasab dan silsilah
keturunannya dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Seorang anak yang
dilahirkan memiliki status yang sah dengan ayah ibunya, bukan anak yang baru
memiliki status dan bahkan baru mengetahui orang tuanya setelah menginjak
dewasa. Seperti halnya binatang, manusia memang dapat berkembang tanpa adanya
ikatan perkawinan, akan tetapi manusia diciptakan oleh Allah swt dengan
predikat termulia diantara sesama mahkluq, dengan akal dan budinya tentu
memiliki cara dan sifat hidup yang jauh berbeda dengan binatang. Oleh karena
itulah, sejak manusia pertama yaitu Nabi Adam dan Ibu Hawa telah menjalani
hidup dalam ikatan perkawinan yang sah, bahkan tidak satu pun Agama Samawi yang
tidak mensyari’atkan pernikahan.
9.
Hidup Bahagia Dunia Akhirat. Kondisi
keluarga yang tenang dan tentram, terhindar dari perbuatan-perbuatan tercela
serta memiliki keturunan yang sah dan shalih, merupakan modal dasar untuk
terciptanya kehidupan bahagia sejahtera di dunia dan di akhirat apabila
diimbangi dengan adanya kesadaran beragama yang baik. Bahagia di dunia berarti
dapat menikmati hidup dan kehidupan dalam kondisi bagaimanapun dan tidak
terpana atau bahkan meratapi kenyataan dan pahitnya kehidupan, sedangkan bahagia
di akhirat berarti mendapatkan kenikmatan yang maha besar kelak di surga.
C. PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA
Perundang-undangan perkawinan di
Indonesia bersumber kepada Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154
Tahun 1991 tentang Pelaksanaaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum
Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam di
Bidang Hukum Perkawinan tersebut, sebagai pengembangan dan penyempurnaan dari
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal-hal yang perlu diketahui dari
Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan antara lain:
1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 2 dan pasal 3
dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa
perngertian perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang
sangat kuat atau misaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan tujuan perkawinan ialah untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
2. Sahnya Perkawinan
Dalam pasal 4 dari Kompilasi
Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Penjelasan pasal 2 ayat
(1) UU RI Tahun 1974 mengatakan sebagai berikut:
• Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini,
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, sesuai
dengan UUD 1945.
• Yang dimaksud dengan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu,
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang
ini.
3. Pencatatan Perkawinan
Dalam pasal 5 dan 6
Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan dijelaskan:
Ø
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
Ø
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (Kantor
Urusan Agama Kecamatan di mana
calon mempelai bertempat tinggal).
Ø
Agar pelaksanaan pencatatan perkawinan itu dapat berlangsung dengan
baik, maka setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
Ø
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.
4.
Akta Nikah
Akta Nikah atau Buku Nikah
(Surat Nikah) adalah surat keterangan yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah
yakni Kantor Urusan Agama Kecamatan, tempat dilangsungkannya pernikahan yang
menerangkan bahwa pada hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam telah terjadi akad
nikah antara: seorang laki-laki (dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir,
pekerjaan, dan tempat tinggal) dengan seorang perempuan (dituliskan nama,
tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, dan tempat tinggal) dan yang menjadi wali
(juga dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan
apa hubungannya dengan yang diwalikan)
5.
Kawin Hamil
Dalam pasal 53 ayat (1),
(2), dan (3) dari Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan dijelaskan:
1. Seorang wanita hamil di luar nikah,
dapat menikah dengan pria yang menghamilinnya.
2.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
Hal-hal lain yang dijelaskan
dalam Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan adalah peminangan, rukun
dan syarat perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, poligami,
pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami istri,
harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, putusnya
perkawinan, rujuk dan masa berkabung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar