Sabtu, 26 Desember 2015

Materi Ikhtiar dan Tawakal

IKHTIAR DAN TAWAKAL”

PENGERTIAN IKHTIAR

        Ikhtiar secara bahasa artinya memilih. Ikhtiar dalam bahasa Arab berasal dari kata khair yang artinya baik. secara istilah ikhtiar adalah usaha seorang hamba untuk memperoleh apa yang di kehendakinya. orang yang berikhtiar berarti dia memilih suatu pekerjaan kemudian dia melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh agar dapat berhasil dan sukses. ikhtiar juga berarti usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya dalam usaha mendapatkan yang terbaik, agar tujuan hidupnya selamat sejahtera di dunia dan di akhirat.
          Dan sebagai seorang muslim di wajibkan untuk senantiasa berikhtiar sekuat tenaga dan seluruh kemampuanya. setelah dia berikhtiar maka dia harus menyerahkan segala usahanya kepada allah swt, Ikhtiar bukan hanya usaha, atau semata-mata upaya untuk menyelesaikan persoalan yang tengah membelit. Ikhtiar adalah konsep Islam dalam cara berpikir dan mengatasi permasalahan. Dalam ikhtiar terkandung pesan taqwa, yakni bagaimana kita menuntaskan masalah dengan mempertimbangkan apa yang baik menurut Islam, dan kemudian menjadikannya sebagai pilihan apapun konsekuensinya, dan meskipun tidak populer atau terasa berat. Ikhtiar berarti tidak mengenal putus asa, dan yakni bahwa rahmat Allah pasti datang setelah berikhtiar. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berikhtiar, dan melarang hamba-Nya untuk berputus asa.
DALIL TENTANG IKHTIAR
Berikut ini adalah dalil tentang ikhtiar dalam alquran
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ * سورة الرعد 11
Artinya : … Sesungguhnya allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri … ( QS. Ar-Ra’du 11 )
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ * سورة الجمعة 10
Artinya : Apabila telah di tunaikan shalat, maka bertebarlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia allah dan ingatlah allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. ( QS. Al-Jumu’ah 10 )
HIKMAH DARI IKHTIAR
1.     Selalu optimis dan tidak pernah berputus asa, karena selalu yakin bahwa suatu saat ia pasti meraih hasil dari usaha dan kerja kerasnya.
2.    Tidak merasakan lelah dan payah dalam berusaha, karena ia yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang mau berusaha dan berikhtiar.
3.    Tidak pernah merasa khawatir terhadap segala macam kegagalan, karena ia memahami dengan baik bahwa setiap usaha memang beresiko gagal. Namun, hal tersebut diambil sebagai hikmah bahwa di balik kegagalan pasti ada kesuksesan.

PENGERTIAN TAWAKAL
          Tawakal secara bahasa, berarti bersandar atau mempercayai diri. Dalam agama, tawakal adalah sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah, atau menyerahkan sepenuhnya hasil ikhtiar tersebut kepada Allah SWT.  Tawakal juga berarti berserah diri dan berpegang teguh kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tawakal merupakan sikap bersandar dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah swt.
          Tawakal memiliki dua unsur pokok, yaitu berserah diri dan berpegang teguh. Kedua-duanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, tidak dapat dikatakan tawakal jika belum berserah diri secara ikhlas. Tidak dapat pula dikatakan tawakal, jika belum berpegang teguh kepada-Nya, belum kokoh keyakinannya kepada kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, keadilan-Nya, kebijaksanaan-Nya, kasih sayang-Nya dalam mengatur segala sesuatu dengan sempurna.
          Tawakal merupakan sikap aktif dan tumbuh hanya dari pribadi yang memahami hidup dengan benar serta menerima kenyataan hidup dengan tepat. Sebab pangkal tawakal adalah kesadaran diri bahwa perjalanan pengalaman manusia secara keseluruhan dalam sejarah kehidupan diri pribadi.
          Tawakal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuan-Nya Maha Luas, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tentram serta tidak ada curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
DALIL TENTANG TAWAKAL

Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakal. (Al-Maidah/5:11)

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩
Artinya:
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (Ali Imran (3): 159).
HIKMAH DARI TAWAKAL
1.     Dicukupkan rezekinya oleh Allah swt. dan merasakan ketenangan.
2.    Dikuatkan imannya, dijauhkan dari setan.
3.    Selalu merasa percaya diri
4.    Memiliki rasa berani dalam menghadapi masalah apapun
5.    Selalu bersyukur atas apa yang allah swt berikan
6.    Selalu berbakti kepada allah swt

7.    Memiliki sifat optimis dan tangguh

Mencintaimu

Mencintaimu adalah perihal menerima resiko. Apa pun itu. Aku paham betul bagaimana hati bekerja, cinta akan tumbuh seiring waktu. Bisa menjadi baik, bisa juga berbalik dari apa yang pertama terasa. Begitulah sewajarnya. Dan, aku hanya ingin mencintaimu dengan wajar. Tidak ada yang ingin kulakukan berlebihan, karena memang yang berlebihan tidak baik.

Aku ingin merindukanmu sewajarnya. Memberi perhatian sekadarnya. Namun, satu hal yang selalu aku lakukan adalah menjaga hatiku seutuhnya untukmu. Aku tidak pernah berniat untuk meninggalkanmu. Aku tidak pernah berniat mengalihkan hatiku pada senyuman yang lain. Meski, sebagai manusia sewajarnya merasa senang melihat yang indah. Tidak munafik. Namun, aku tahu, aku memiliki keindahan yang cukup bagiku. Yakni kamu.

Maaf jika perhatian yang kuberikan sekadarnya membuatmu merasa tidak cukup. Aku tahu saat kau mulai jatuh hati kepada yang lain. Aku tahu saat kau mulai jatuh hati kepada yang lain. Aku tahu saat kau mulai mencari perhatian pada cinta yang lain. Semua yang kau lakukan selalu aku perhatikan.

Jumat, 25 Desember 2015

Penjualan Konsinyasi dan Penjualan Angsuran

“PENJUALAN KONSINYASI”
PENGERTIAN PENJUALAN KONSINYASI
          Konsinyasi adalah penjualan dengan cara pemilik menitipkan barang kepada pihak lain untuk dijualkan dengan harga dan syarat yang telah diatur dalam perjanjian. Perjanjian konsinyasi berisi mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak.
PERJANJIAN KONSINYASI
Hak konsinyi :
·         Berhak memperoleh penggantian biaya dan imbalan penjualan
·         Berhak menawarkan garansiatas barang tersebut
Kewajiban Konsinyi:
·         Harus melindungi barang konsinyasi
·         Harus menjual barang konsinyasi
·         Harus memisahkan secara fisik barang konsinyasi dengan barang dagangan lainnya
·         Mengirimkan laporan berkala mengenai kemajuan penjualan barang konsinyasi
PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT
Pihak-pihak yang terlibat dalam konsinyasi adalah:
  1. Pengamanat (consignor) adalah pihak yang menitipkan barang atau pemilik barang. Pengamanat akan tetap mencatat barang yang dititipkannya sebagai persediaan selama barang yang dititipkan belum terjual atau menunggu laporan dari komosioner.
  2. Komisioner (consignee) adalah pihak yang menerima titipan barang.
    Baik pengamanat (consignor) maupun komisioner (consignee) mendapat keuntungan dengan adanya konsinyasi ini. Bagi pengamanat (consignor) melalui konsinyasi secara tidak langsung dapat dijadikan sebagai sarana promosi produknya dan menaikkan omzet penjualan serta memperluas daerah pemasaran . Bagi komisioner (consignee) akan mendapat komisi bila berhasil menjualkan barang konsinyasi. Selain itu komisioner (consignee) tidak perlu menambah modal kerja untuk membeli persediaan barang dagangan dan tidak menanggung resiko kerugian bila barang yang dititipkan tidak laku karena dapat dikembalikan kepada pengamanat (consignor).
METODE PENCATATAN PENJUALAN KONSINYASI
Metode pencatatan yang dapat dipakai baik oleh pengamanat (consignor) maupun komisioner (consignee) ada dua , yaitu:
  1. Metode Terpisah
Dalam metode terpisah laba atau rugi dari penjualan konsinyasi disajikan secara terpisah dengan laba atau rugi penjualan biasa atau penjualan lainnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pada akhir periode dapat diketahui berapa laba atau rugi yang diperoleh dari penjualan konsinyasi dan berapa laba atau rugi yang diperoleh dari penjualan lainnya.
  1. Metode Tidak Terpisah
Dalam metode tidak terpisah laba atau rugi dari penjualan konsinyasi tidak dipisahkan dengan laba atau rugi dari penjualan biasa atau penjualan lainnya. Hal ini akan mengakibatkan pada akhir periode perusahaan tidak dapat mengetahui berapa laba atau rugi yang diperoleh dari penjualan konsinyasi dan berapa laba yang diperolah dari penjualan biasa atau penjualan lainnya. Untuk tujuan pengendalian intern sebaiknya perusahaan tidak menggunakan metode ini.
Untuk mengetahui bagaimana perlakuan akuntansi terhadap barang konsinyasi baik yang diselenggarakan oleh pihak pengamanat (consignor) maupun pihak komisioner (consignee), maka berikut ini dijelaskan Akuntansi yang diselenggarakan oleh masing-masing pihak.
Pembahasan dimulai dengan penerapan pencatatan dengan:
1. metode terpisah oleh:
a)    pengamanat (consignor) maupun
b)   komisioner (consignee)
2. metode tidak terpisah oleh:
a)    pengamanat (consignor) maupun
b)   komisioner (consignee)
1. Metode Terpisah.
Akuntansi yang diselenggarakan oleh masing-masing pihak sebagai berikut:
a. Akuntansi oleh Pengamanat (Consignor)
Setiap transaksi yang berhubungan dengan penjualan konsinyasi baik menyangkut pendapatan maupun biaya dicatat dalam rekening barang konsinyasi atau consigment out.
Pengamanat (consignor) mencatat/menjurnal pada saat:
1.     menitipkan barang ke komisioner (consignee) dan
2.    menerima laporan konsinyasi serta uang dari komisioner (consignee).
Transaksi yang berhubungan dengan pengiriman barang konsinyasi dan biaya-biaya penjualan konsinyasi akan didebit, misalnya:
·         Saat mengirimkan barang ke komisioner (rekening barang konsinyasi)
·         Biaya pengiriman barang ke komisioner
·         Biaya komisi
·         Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh komisioner tetapi diganti oleh pengamanat.
Transaksi yang berhubungan dengan hasil penjualan barang konsinyasi dan pendapatan konsinyasi akan di kredit, yaitu:
·         Saat mencatat pendapatan konsinyasi
·         laba konsinyasi.
·         Saat menerima laporan tentang hasil penjualan barang konsinyasi (rekening barang konsinyasi)
Jadi rekening barang konsinyasi (consigment out) dicatat baik didebit maupun dikredit. Di debit saat Barang dikirim ke pengamanat dan dikredit saat barang yang dititipkan tersebut benar-benar sudah terjual berdasarkan laporan dari pihak consignee (komisioner)
b. Akuntansi oleh Komisioner (Consignee)
Bagi Consignee setiap transaksi pendapatan yang berhubungan dengan penjualan konsinyasi dimasukkan ke dalam rekening barang komisi atau consignment in.
Komisioner hanya membuat jurnal saat:
1.     menjual barang konsinyasi,
2.    mengeluarkan biaya-biaya yang berhubungan dengan konsinyasi
3.    mencatat pendapatan komisi dan
4.    pengiriman uang ke pengamanat (consignor)
Jadi rekening barang komisi (consigment in) dicatat baik didebit maupun dikredit. Di debit saat barang komisi diterima dari pengamanat dan dikredit saat barang komisi terjual kepada pihak lain.
2. Metode Tidak Terpisah
Akuntansi yang diselenggarakan oleh masing-masing pihak sebagai berikut:
a. Akuntansi Oleh Pengamanat
Karena pencatatannya tidak dipisahkan dengan penjualan biasa atau penjualan lainnya maka tidak ada perbedaan dalam membuat jurnalnya. Dengan demikian pendapatan dan biaya dari penjualan konsinyasi dicatat seperti halnya pendapatan dan biaya yang diperoleh dari penjualan biasa atau penjualan lainnya.
Pengamanat membuat jurnal saat:
·         mengeluarkan biaya pengiriman ke komisioner,
·         menerima laporan konsinyasi dan
·         menerima uang dari komisioner.
b. Akuntansi Oleh Komisioner
Seperti halnya pencatatan yang dilakukan oleh Pengamanat, pada buku komisioner bila penjualan barang komisi tidak dipisahkan dengan penjualan biasa dan penjualan lainnya, jurnal yang dibuat juga sama caranya sehingga tidak ada keistimewaan. Pendapatan dan biaya yang berhubungan dengan kegiatan komisioner dicatat seperti halnya pendapatan dan biaya yang berhubungan dengan penjualan biasa atau penjualan lainnya.
Komisioner membuat jurnal:
·         saat mengeluarkan biaya yang berhubungan dengan kegiatan komisioner,
·         saat penjualan barang komisi dan
·         saat mengirimkan laporan konsinyasi ke pengamanat serta
·         saat mengirimkan uang kepada pengamanat.
CONTOH SOAL
Harga pokok televisi per buah adalah Rp. 1.100.000,00
Diminta:
Buat jurnal yang ada di komisioner dan pengamanat, apabila menggunakan metode: a) Terpisah; dan b) Tidak terpisah
Metode terpisah
Metode tidak terpisah
Penyajian laba(rugi) penjualan konsinyasi didalam laporan perhitungan rugi-laba.
Laba(rugi) penjualan konsinyasi dapat disajikan didalam laporan perhitungan rugi laba bagi pengamanat, dengan cara menggabungkan data hasil penjualan; harga pokok penjualan dan biaya-biaya penjualan yang bersangkutan dengan data yang sama untuk transaksi penjualan reguler.akan tetapi apabila transaksi penjualan konsinyasi merupakan bangian yang cukup penting dalam dalam kegiatan distribusi, maka data hasil penjualan, harga pokok penjualan dan biaya-biaya penjualan yang bersangkutan dapat dilaporkan secara terpisah dan sejajar dengan data penjualan regular.
Kemungkinan lain untuk menyajikan data transaksi penjualan konsinyasi didalam laporan perhitungan rugi-laba adalah melaporkan sebesar laba(rugi) penjualan konsinyasi tanpa menyajikan data penjualan dan biaya-biaya yang bersangkutan.
Apabila cara ini ditempuh pada umumnya laba(rugi) penjualan konsinyasi ditambahkan(dikirangkan) dari laba kotor penjualan reguler sbg berikut:

PT Jaya Jakarta
Laporan Perhitungan Rugi-Laba
Untuk bulan september 1980 (dalam rupiah)
Hasil penjualan                                                              25.000.000
Harga pokok penjualan                                                  14.000.000
          laba kotor penjualan                                            11.000.000
          laba penjualan konsinyasi                                      1.410.000
                                                                                     12.410.000
Biaya usaha
         biaya penjualan                    3.025.000
         biaya adm & umum              5.635.000
              jumlah biaya usaha                                            8.660.000
Laba usaha                                                                      3.750.000

PT Jaya Jakarta
Laporan Perhitungan Rugi-Laba
Untuk bulan september 1980 (dalam rupiah)
Hasil penjualan                                                              25.000.000
Harga pokok penjualan                                                  14.000.000
          laba kotor penjualan                                            11.000.000
          laba penjualan konsinyasi                                      1.410.000
                                                                                     12.410.000
Biaya usaha
         biaya penjualan                    3.025.000
         biaya adm & umum              5.635.000
              jumlah biaya usaha                                            8.660.000
Laba usaha                                                                      3.750.000

“PENJUALAN ANGSURAN”
PENGERTIAN PENJUALAN ANGSURAN
          Penjualan angsuran adalah penjualan yang pembayarannya tidak diterima sekaligus (tidak langsung lunas), tetapi pembayarannya diterima melalui lebih dari 2 (dua) tahap.  Istilah penjualan angsuran dengan penjualan kredit hampir sama, tetapi penjualan kredit yang dibayar hanya 2 X pembayaran bukan merupakan penjualan angsuran.
Untuk menghindari resiko karena pembeli tidak membayar dan supaya penjual tidak mengalami kerugian, maka biasanya saat membeli ada beberapa perjanjian, antara lain:
1.     Pada saat membeli disertai dengan meninggalkan jaminan ke penjual.
2.    Hak kepemilikan barang berpindah ke pembeli, kalau pembayarannya sudah lunas.
Penjualan Angsuran Untuk Barang Tidak Bergerak dan Barang Bergerak
Dalam praktek penjualan angsuran dapat dipakai baik untuk barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Dalam penjualan angsuran pada umumnya laba kotor diakui secara proporsional dengan penerimaan kas. Hal ini disebabkan ada kemungkinan terjadi pembatalan penjualan angsuran. Dengan metode ini bila terjadi pembatalan penjualan angsuran di catatan perusahaan tidak timbul rugi, tetapi mencatat keuntungan. Tetapi untuk penjualan angsuran barangbarang tidak bergerak tetap ada yang mengakui laba kotor pada periode penjualan.
1.   Penjualan Angsuran Barang Tidak Bergerak
Pada penjualan barang tidak bergerak, saat penjualan, nama barang yang bersangkutan langsung dikredit sebesar beban pokok penjualan. Selisih antara harga jual dan beban pokok penjualan langsung diakui sebagai laba kotor belum direalisasi. direalisasi belum diakui pada saat terjadi transaksi penjualan. Laba kotor yang belum direalisasi baru dihitung pada akhir periode. Hal ini disebabkan
Berikut ini adalah contoh penjualan angsuran untuk barang tidak bergerak dan penjualan angsuran untuk barang bergerak. Untuk penjualan angsuran barang tidak bergerak diberi contoh 2 metode pencatatan, yaitu laba diakui dalam periode penjualan dan laba diakui secara proporsional dengan penerimaan kas. Untuk penjualan barang bergerak hanya diberi contoh 1 metode pencatatan yaitu laba diakui secara proporsional dengan penerimaan kas. Karena pada umumnya untuk penjualan angsuran barang bergerak, laba diakui secara proporsional dengan penerimaan kas.



2.    Penjualan Angsuran Barang Bergerak
Pada penjualan barang bergerak, laba kotor yang belum direalisasi belum diakui pada saat terjadi transaksi penjualan. Laba kotor yang belum direalisasi baru dihitung pada akhir periode.
Dalam praktek, selain penjualan biasa (reguler) perusahaan juga melakukan penjualan angsuran. Tujuan perusahaan juga menjual secara angsuran adalah untuk menaikkan omzet penjualan. Bila hal ini yang terjadi dalam perusahaan, maka dalam menyusun Laporan Keuangan harus dipisahkan antara piutang penjualan reguler dan piutang penjualan angsuran.

PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN
Jika Perusahaan Melakukan Penjualan Reguler dan Penjualan Angsuran
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa disamping menjual secara reguler, perusahaan menjual secara angsuran dengan tujuan untuk meningkatkan omzet penjualan. Apabila hal ini terjadi, maka dalam neraca harus dijelaskan secara rinci :
1.     saldo piutang penjualan angsuran dari masing-masing periode penjualan angsuran
2.    saldo dari laba kotor belum direalisasi dari masing-masing periode penjualan angsuran
Dalam laporan laba atau rugi harus dipisahkan antara penjualan, biaya dan laba atau rugi dari penjualan reguler dan dari penjualan angsuran. Sedangkan laba atau rugi yang dicantumkan dalam laporan laba atau rugi adalah laba/rugi yang direalisasi selama satu periode tersebut (termasuk laba yang direalisasi dari penjualan angsuran periodeperiode sebelumnya).

Kamis, 24 Desember 2015

Pernikahan atau Munakahat

MUNAKAHAT
     A.    KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN
Pernikahan adalah sunnatullah yang berlaku umum bagi semua makhluk Nya. Al-Qur`ān menyebutkan dalam Q.S. adz-aáriy±t /51:49. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.“ Islam sangat menganjurkan pernikahan, karena dengan pernikahan manusia  akan berkembang, sehingga kehidupan umat manusia dapat dilestarikan. Tanpa pernikahan regenerasi akan terhenti, kehidupan manusia akan terputus, dunia pun akan sepi dan tidak berarti, karena itu Allah Swt. mensyariatkan pernikahan sebagaimana difirmankan dalam Q.S. an-Nahl/16:72. Artinya: “ Allah menjadikan dari kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dan istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang  bathil dan mengingkari nikmat Allah.”
     1.     Pengertian
              Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Secara bahasa, kata nikah berarti “mengumpulkan, menggabungkan, atau menjodohkan, bersatu”. Dalam istilah syariat, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang  bukan mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing  demi terwujudnya keluarga (rumah tangga) bahagia, yang di ridai oleh Allah SWT. Dalam Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974,  definisi atau pengertian perkawinan atau pernikahan ialah "ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal  berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pernikahan harus dilakukan untuk membina kehidupan rumah tangga (suami istri) yang sah, dalam kaitan ini terdapat persyaratan dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Keabsahan perkawinan merupakan azas pokok terciptanya masyarakat yang baik dan sempurna, oleh karena sebenarnya perkawinan merupakan pertalian yang sangat kokoh dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan anak turunnya, tetapi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya, bahkan antara satu suku/bangsa dengan suku/bangsa lainnya. Hubungan yang baik dalam setiap keluarga dan juga dengan keluarga lainnya, merupakan landasan terciptanya suatu masyarakat yang baik dan saling bekerja sama, hidup tenteram dan aman, sejahtera dan bahagia lahir bathin di dunia maupun di akhirat.
Nikah merupakan perbuatan yang telah dicontohkan olehNabi Muhammad SAW atau sunah Rasul. Dalam hal ini, disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW yang artinya, “Dari Anas bin Malik r.a., bahwasannya Nabi SAW memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda, Akan tetapi aku salat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka dengan perbuatanku maka dia bukanlah dari golonganku.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
     2. Hukum Nikah
             Menurut sebagian besar ulama, hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Hukum nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib, makruh, atau haram. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
      1.  Sunah
            Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari perzinahan - Walaupun tidak segera menikah – maka hukum nikah adalah sunah. Rasulullah bersabda, “Wahai para pemuda, jika diantara kamu sudah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah iamanikah, karena pernikahan itu dapat menjada pandangan mata dan lebih memelihara kelamin (kehormatan); dan barang siapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, sebab itu jadi penjaga baginya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
      2. Wajib
            Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zina jika tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah wajib.
      3.  Makruh
             Bagi orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu member nafkah terhadap istri dan anak-anaknya, maka hukum nikah adalah makruh.
      4.  Haram
             Bagi orang yang bermaksud menyakiti wanita yang akan ia nikahi, maka hukum nikah adalah haram.
    3. Tujuan Pernikahan
            Secara umum, tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Apabila tujuan pernikahan yang bersifat umum itu diuraikan secara terperinci tujuan pernikahan yang islami dapat dikemukakan sebagai berikut:
·         Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang. Allah SWT berfirman: ”Dan jadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang…” (Q.S. Ar-Rum, 30: 21)
·          Untuk memperoleh ketenangan hidup (sakinah). Allah SWT berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kebiasaan-Nya ialah Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya…” (Q.S. Ar-Rum, 30:21)
·         Untuk mewujudkan keluarga bahagia di dunia dan akhirat.
·         Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi. Rasulullah saw., bersabda: Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda:’wanita  dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya, kalau tidak kamu akan celaka" (¦R. Al-Bukh±ri dan Muslim).
·         Untuk mendapatkan ketenangan hidup. Allah Swt. berfirman: Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan  pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung  dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah Swt.) bagi kaum yang berpikir”. (Q.S. ar-Rμm/30:21).Untuk membentengi akhlak. Setiap manusia normal secara fitrah akan mengalami suatu masa puber, mulai merasa tertarik terhadap lawan jenisnya. Islam sebagai Agama Fitroh memberikan jalan keluar dengan disyari’atkannya pernikahan, sehingga perasaan yang selalu menuntut pemenuhan ini tersalurkan dengan baik dan benar. Dengan menikah manusia akan dapat terhindar dari perbuatan tercela berupa zina dan lain-lain.
·         Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan).  Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (¦R. al-Bukh±ri dan Muslim) Rasulullah saw. bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!”.  Mendengar sabda Rasulullah para sahabat keheranan dan bertanya:  “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya  terhadap istrinya akan mendapat pahala?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami)  bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa? “ Jawab  para shahabat, ”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi, “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (¦R. Muslim).
·         Untuk mendapatkan keturunan yang salih. Setelah terjadinya pernikahan kemudian pada gilirannya setiap manusia akan mengalami kerinduan akan hadirnya anak, sebagai perwujudan adanya sifat kebapakan dan keibuan yang timbul dari seorang laki-laki dan perempuan. Dalam kaitan ini pernikahan lebih banyak diharapkan akan memberikan keturunan akan tetapi keturunan yang baik dan sah secara
hukum.Allah Swt. berfirman: “Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”. (Q.S. an-Nahl/16:72).
·         Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami. Dalam al-Qur'±n disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi mempertahankan keutuhan rumah tangga. Firman Allah Swt.: “Talaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi  kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Q.S. al-Baqarah/2:229).
·         Mengikuti sunnah Rasul dan meningkatkan ketaqwaan. Rasulullah saw. pernah mencela terhadap seseorang yang bertekat untuk berpuasa, dan bangun (tidak tidur) setiap hari guna konsentrasi beribadah serta bertekad tidak akan menikah.
    4. Rukun Nikah
              Rukun nikah ada lima macam yakni sebagai berikut:
        1)  Ada calon suami, dengan syarat: laki-laki yang sudah berusia dewasa (19 tahun), beragama Islam, tidak dipaksa/terpaksa, tidak ssedang dalam ihram haji atau umrah, dan bukan mahram calon istrinya.
        2)  Ada calon istri, dengan syarat: wanita yang sudah cukup umur (16 tahun): bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan mahram bagi calon suami dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
        3)  Ada wali nikah, yaitu orang yang menikahkan mempelai laki-laki dengan mempelai wanita atau mengizinkan pernikahannya.
             a)  Wali Nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan.
             b)  Wakil Hakim, yaitu kepala negara yang beragama Islam.
        Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali nikah adalah sebagai berikut:
                  a)      Beragama Islam.
                  b)      Laki-laki.
                  c)      Balig dan berakal.
                  d)      Merdeka dan bukan hamba sahaya.
                  e)      Bersifat adil.
                  f)       Tidak sedang ihram haji atau umrah.
         4)  Ada dua orang saksi. Firman Allah Swt.: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian”. (Q.S. at-Țal±q/65:2).
Syarat saksi adalah:
1) Berjumlah dua orang, bukan budak, bukan wanita, dan bukan
2) Tidak boleh merangkap sebagai saksi walaupun memenuhi
3) Sunnah dalam keadaan rela dan tidak terpaksa.
         5)  Ada akad nikah yakni ucapan ijab kabul. Ijab adalah  ucapan wali (dari pihak mempelai wanita), sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Qabal adalah ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Suami wajib memberikan mas kawin (mahar) kepada istrinya, tetapi mengucapkannya dalam akad nikah hukumnya sunnah. Suruhan untuk memberikan mas kawin terdapat dalam Al-Qur’an yang artinya: “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan…” (Q.S. An-Nisa’, 4: 4)
Syarat ijab kabul adalah:
1) Tidak tergantung dengan syarat lain.
2) Tidak terikat dengan waktu tertentu.
3) Boleh dengan bahasa asing.
4) Dengan menggunakan kata “tazwij” atau “nikah”, tidak boleh
5) Qabul harus dengan ucapan “Qabiltu nikahaha/tazwijaha” dan orang fasik. kwalifikasi sebagai saksi. dalam bentuk kinayah (sindiran), karena kinayah membutuhkan niat sedang niat itu sesuatu yang abstrak.boleh didahulukan dari ijab.
    5.  Muhrim
           Menurut pengertian bahasa, muhrim berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Adapun penyebab seorang wanita haram dinikahi ada empat macam, yaitu sebagai berikut:
•             Wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
              a. Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
              b. Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
              c.  Saudara perempuan (sekandung, sebapak atau seibu).
              d. Saudara perempuan dari bapak
              e. Saudara perempuan dari ibu.
              f.  Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
              g. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
•              Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan:
              a. Ibu yang menyusui.
              b. Saudara perempuan sesusuan.
•              Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan:
              a. Ibu dari istri (mertua).
              b. Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami telah berkumpul dengan ibunya.
              c. Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini oleh ayahmu.” (Q.S. An-Nisa’, 4: 22)
              d. Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
•              Wanita yang haram dinikahi karena pertalian muhrim dengan istri. Misalnya, haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang bersaudara, terhadap seorang perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya.
    6.     Kewajiban Suami dan Istri
                Secara umum kewajiban suami-istri adalah sebagai berikut:
•             Kewajiban Suami
             a. Memberi nafkah, sandang, pangan, dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya, sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal.
             b. Memimpin serta membimbing istri dan anak-anak, agar menjadi orang yang berguna, keluarga, agama, masyarakat, serta bangsa dan negaranya.
             c. Bergaul dengan istri dan anak-anak dengan baik (makruf).
             d. Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi anak saleh.
•             Kewajiban Istri
             a. Taat kepada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam.
             b. Memelihara diri serta kehormatan dan harta benda suami, baik di hadapan atau di belakangnya.
             c. Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarga.
             d. Menerima dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit, serta mencukupkan nafkah yang diberikan suami, sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya, hemat, cermat, dan bijaksana.
             e. Hormat dan sopan kepada suami dan keluarganya
             f. Memelihara, mengasuh, dan mendidik anak agar menjadi anak yang saleh.
Pernikahan yang Tidak Sah
Di antara pernikahan yang tidak sah dan dilarang oleh Rasulullah saw.  adalah sebagai berikut.
a. Pernikahan Mut`ah, yaitu pernikahan yang dibatasi untuk jangka waktu tertentu, baik sebentar ataupun lama. Dasarnya adalah hadis berikut:  “Bahwa Rasulullah saw. melarang pernikahan mut’ah serta daging keledai kampung (jinak) pada saat Perang Khaibar. (¦R. Muslim).
b. Pernikahan syighar, yaitu pernikahan dengan persyaratan barter tanpa pemberian mahar. Dasarnya adalah hadis berikut: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah syighar. Adapun nikah syighar yaitu seorang bapak menikahkan seseorang dengan putrinya dengan syarat bahwa seseorang itu harus menikahkan dirinya dengan putrinya, tanpa mahar di antara keduanya.” (¦R. Muslim)
c. Pernikahan muhallil, yaitu pernikahan seorang wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya yang karenanya diharamkan untuk rujuk kepadanya, kemudian wanita itu dinikahi laki-laki lain dengan tujuan untuk menghalalkan dinikahi lagi oleh mantan suaminya. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Rasulullah saw. melaknat muhallil dan muhallal lahu”. (¦R. at-Tirmiżi)
d. Pernikahan orang yang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang melaksanakan ihram haji atau 'umrah serta belum memasuki waktu tahallul. Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang sedang melakukan ihram tidak boleh menikah dan menikahkan.” (¦R. Muslim)
e. Pernikahan dalam masa iddah, yaitu pernikahan di mana seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah, baik karena perceraian ataupun karena meninggal dunia. Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya”. ( Q.S. al-Baqarah/2:235)
f. Pernikahan tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang wanita tanpa seizin walinya. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
g. Pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab, berdasarkan firman Allah Swt.:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Q.S. al-Baqarah/2:221)
h. Menikahi mahram, baik mahram untuk selamanya, mahram karena pernikahan atau karena sepersusuan.
Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
1.      Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hokum agama masing-masing . yaitu , pernikahan sah apabila dilakukan menurut hokum islam yautu berupa akad yang sangat kuat untuk pelaksanaaanya merupakan ibadah .
2.      Pencatatan perkawinan . Dalam 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa setiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku   fungsinya agar , terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam , pencatatn nikah harus di catat oleh pegawai pencatat nikah , harus dilaksanakan di hadapan pengawas pegawai pencatat nikah .
3.      Tujuan dan batasan – batasan poligami . Dalam 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (12) pada azazsnya bahawa dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh  mempunyai seorang istri sedangkan seorang perempuan hanya boleh mempunyai satu suami . suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikendaki oleh pihak yang bersangkutan  . syarat yang harus dipenuhi : adanya persetujuan pihak istri , adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak mereka , adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap anak dan istri .
Hak dan Kedudukan Wanita dalam Keluarga Berdasarkan Hukum Islam .
1.      Wanita dalam Islam , wanita merupakan salah satu makluk ciptaan ALLAH SWT. Salah satu hikmah dari wanita adalah adanya wanita  maka proses berlangsungnya kehidupan manusia akan terus berjalan sampai datangnya hari akhir. Oleh karan itu ajaran islam sangat memuliakan wanita dengan bebagai peran .
2.      Hak wanita , hak adalah ketetapan dan kesesuainya dengan realistis / hal hal yang ditetapkan dengan kententuan syari’ dan kecendrungan untuk menerapkannya . Keluarga meruapakan bersatu pria dan wanita melalui jalur pernikahan , dan bertambahnya jumlah keluarga maka status pria dan wanita tersebur pun menjadi bertambah . adapun hak-hak nya :
·         Hak untuk memiliki kebebasan pribadi
·         Hak rumah sebagai tempat privasi
·         Hak untuk mengemukakan pendapat
·         Hak untuk menuntu ilmu
·         Hak terkait kepemilikan harta
·         Hak dalam pernikahan
·         Hak dalam berwasiat
3.      Kedudukan wanita dalam keluarga . fungsi pasangan adalah saling melengkapi , sehingga kalaupun ada perbedaan di antara mereka justru untuk menjadi ajang untuk saling tolong menolong . seorang suami adalah pemipin bertanggung jawab atas pimpinannya sedangkan seorang istri adalah seorang pemimpin di rumah suaminya , karna hanya wanita yang bias mengandung dan melahirkan sehingga adanya si penerus generasi , oleh sebab itu tugas ibu menagntar anaknya agar bertakwa sudah mulai sejak anak dalam kandungan sampai anak tersebut bertumbuh dewasa.
Selain sebagai ibu wanita juga berperan sebgai istri dan pendamping suami , sebagai penentu utama dan pengaruh yang besar dalam kesuksesan seorang suami  .Demikian  istri yang shalihah Rasullah SAW memn=berikan gambaran sebagai “Sebaik-baiknya perhiasan dunia , adalah istri shaliahah “ . istri bias memberiakan inspirasi kepada suami denagn kontribusinya melalui :
·         Ketaatan sebagai bentuk bakti istri terhadap suami , sepanjang ketaaatan nya tersebut tidak bertantangan daengan syar’iat .
·         Iklas dan bersyukurr atas pemberian suami , meskipun sedikit .
·         Pelayanan seorang istri kepada suami .
·         Cara bagaimana seorang istri dalam menjaga harata benada suaminya , menjaga rahasianya dan memperhatikan sanak saudranya
·         Memberikan semangat dan motivasi kepada suami agar suami tidak mudah putus asa
·         Menjafga penampilan diri , dengan menjaga kecantikan lahir batin , merawat keindahan fisik maupun psikis .
Adapun tanda-tanda seorang istri shalihah adalah memiliki sikap baik dalam berbagai hal , selalu menjaga kehormatan diri , baik suami sedang dirumah maupun diluar rumah , senantiasa menjaga suami dri foddan luar yang menjerumuskan , dan selalu taat dengan ketaaatan yang berdasarkan rasa cinta kepada ALLAH SWT dan Rasul-Nya .
    7.     Perceraian
                   Perceraian berarti pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan istri. Sebab terjadi perceraian adalah perselisihan atau pertengkaran suami-istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, walaupun sudah didatangkan hakim (juru damai) dari pihak suami dan pihak istri. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap wanita (istri) yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan, haramlah baginya wangi-wangi surga.” (H.R. Ashabus Sunan kecuali An-Nasa’i)
                 Hal-hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan adalah meninggalnya salah satu pihak suami atau istri, talak, fasakh, khulu’, li’an, ila’, dan zihar. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
     a.      Talak
          Pengertian Talak menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan, sedangkan yang dimaksud di sini adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak atau perkataan lain yang senada dengan maksud talak atau dengan mengucapkan secara suka rela ucapan talak dari pihak suami kepada istrinya. Bila problem keluarga tidak dapat diatasi, maka akan menjadi sumber konflik yang kemudian bisa meningkat pada percekcokan yang berkepanjangan. Bila percekcokan ini tidak dapat diatasi walaupun telah diusahakan dengan berbagai cara untuk Islah, dan dalam kehidupan rumah tangga tidak memungkinkan lagi terwujud ketenangan dan ketentraman, maka dalam kondisi seperti ini talak dapat dilaksanakan dengancara yang baik. Atau juga apabila suami istri tidak dapat memenuhi kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama. Jadi talak hanya dapat dilaksanakan jika keadaan sudah sangat memaksa dan usaha lain sudah tidak dapat diharapkan dapat menyelesaikannya.
Talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
         a.      Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya, dan suami boleh rujuk (kembali) kepada istri yang telah ditalaknya selama masih dalam masa ‘iddah.
         b.      Talak Ba’i n, yaitu talak yang suami tidak boleh rujuk (kembali) kepada istri yang ditalaknya itu, melainkan mesti dengan akad nikah baru.
          Selesai akad nikah biasanya mengucapkan ta’lik talak, yaitu talak yang digantungkan dengan sesuatu (syarat atau perjanjian). Misalnya, suami berkata kepada istrinya, “bila selama 3 bulan berturut-turut saya tidak memberi nafkah kepada engkau, berarti saya telah mentalak engkau.” Ta’lik talak hukumnya sah dan dibenarkan syara’.
Hukum Talak
Dalam Agama Islam, hukum asal talak adalah makruh, yaitu boleh tapi tidak
disukai oleh Allah swt Bila memperhatikan situasi dan kondisinya serta kemaslahatan dan kemudlaratan talak, maka hukum asal tersebut dapat menjadi :
1. Wajib, yaitu bila perselisihan sudah memuncak dan hakim memandang perlu untuk talak.
2. Sunnat, bila suami sudah tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya dengan layak, atau bila istri tidak dapat menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
3. Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haidh, atau ketika istri suci setelah adanya hubungan suami istri
      b.      Fasakh
          Fasakh adalah pembatalan pernikahan antara suami-istri karena sebab-sebab tertentu. Fasakh dilakukan oleh hakim agama, karena adanya pengaduan dari istri atau suami dengan alasan yang dapat dibenarkan.
Fasakh yaitu rusaknya hubungan pernikahan antara suami istri karena :
1. Sebab yang merusak aqad nikah, misalnya :
a) Setelah diadakan pernikahan secara sah kemudian diketahui bahwa istri tersebut merupakan muhrim dari suaminya.
b) Salah seorang dari suami istri tersebut murtad (keluar dari ajaran Islam).
c) Pasangan yang semula sama-sama musyrik, kemudian salah satu atau keduanya masuk Islam.
2. Terdapat sebab-sebab yang menghalangi tujuan pernikahan, seperti :
a) Adanya penipuan dalam pernikahan tersebut, semula suami mengaku orang baik-baik kemudian diketahui ternyata seorang penjahat.
b) Suami atau istri mengidap penyakit/ cacat yang dapat mengganggu hubungan suami dan istri.
c) Suami dihukum/ dipenjara selama lima tahun atau lebih.
d) Suami dinyatakan hilang.
          Akibat perceraian dengan fasakh, suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya. Berbeda dengan khulu’, fasakh tidak memengaruhi bilangan talak. Artinya, walaupun fasakh dilakukan lebih dari tiga kali, bekas suami-istri itu boleh menikah kembali, tanpa bekas istrinya harus menikah dulu dengan laki-laki lain.
      c.       Khulu’
          Menurut istilah bahasa, khulu’ berarti tanggal. Dalam ilmu fikih, khulu’ adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri, baik dengan jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan memberikan sejumlah uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua.
          Khulu’ diperkenankan dalam Islam, dengan maksud untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi istri. Allah SWT berfirman yang artinya, “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 229)
          Akibat perceraian dengan cara khulu’, suami tidak dapat rujuk, walaupun bekas istrinya masih dalam masa ‘iddah. Berbeda dengan fasakh, khulu’ dapat memengaruhi bilangan talak. Artinya, kalau sudah tiga kali dianggap tiga kali talak (talak ba’in kubra), sehingga suami tidak boleh menikah lagi dengan bekas istrinya, sebelum bekas istrinya itu menikah dulu dengan laki-laki lain, bercerai, dan habis masa ‘iddah-nya.
      d.  Li’an
          Li’an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina (karena suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi yang melihat istrinya berzina). Dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada ucapan kelima kalinya dia mengatakan, “Laknat (kutukan) Allah akan ditimpakan atas diriku, apabila tuduhanku itu dusta.”
1. Contoh sumpah suami adalah : Saya bersumpah dengan nama Allah, Wallahi bahwa sesungguhnya saya benar dengan tuduhan saya bahwa istri saya yang bernama . . . (sambil ditunjuk) telah berbuat “zina” dan bahwa anak yang sedang/telah dikandung/ dilahirkannya bukan anak saya. Ucapan sumpah tersebut harus diulangi sampai 4 kali, kemudian dilanjutkan dengan perkataan kelima yaitu : Atas saya laknat Allah swt, apabila saya berdusta dalam tuduhan ini.
Apabila seorang suami telah mengucapkan kalimat li’an tersebut,maka berlakulah beberapa hukum di bawah ini :
a) Suami bebas dari had hukuman menuduh zina (dicambuk 80 kali)
b) Istri wajib dihukum dengan had zina (dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun atau dirajam bila ia muhshan)
c) Suami istri bercerai selama-lamanya.
d) Bila ada anak, anak itu bernasab hanya pada ibunya dan tidak ada hubungan nasab dengan ayahnya (ayah yang meli’an ibunya). Seorang istri yang terli’an dapat menolak tuduhan suaminya sehingga ia terbebas dari hukuman had zina, penolakan tersebut berupa sumpah empat kali.

          Apabila suami sudah menjatuhkan li’an, berlakulah hukum rajam terhadap istrinya, yaitu dilempari dengan batu yang sedang sampai mati. Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang li’an ini terdapat dalam Surah An-Nur, 24: 6-10.
2. Contoh sumpah penolakan istri adalah : Saya bersumpah dengan nama Allah, Wallahi bahwa suamiku . . . yang menuduhkan berzina adalah dusta semata (diulang sampai 4 kali). Kemudian dengan ucapan yang kelima : bahwa atasku la’nat Allah swt. jika suamiku berkata benar. Dengan adanya sumpah penolakan istri ini maka konsekwensi hukumnya adalah :
a) Gugur atas istri hukuman had zina
b) Apabila ada anak, maka anak tersebut sah bernasab pada ayahnya.
Untuk pelaksanaan di Indonesia, dalam Kompilasi hukum Islam di Indonesia pasal 128 disebutkan bahwa : Li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang pengadilan Agama.

      e. Ila’
          Ila’ berarti sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama 4 bulan atau lebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan. Jika sebelum 4 bulan dia kembali kepada istrinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat).
          Akan tetapi, jika sampai 4 bulan ia tidak kembali pada istrinya, maka hakim berhak menyuruhnya untuk memilih di antara dua hal, kembali kepada istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau mentalak istrinya. Apabila suami tidak bersedia menentukan dengan pilihannya, maka hakim memutuskan bahwa suami telah mentalak istrinya dengan talak ba’in sugra, sehingga ia tidak dapat rujuk lagi.
          Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang Ila’ ialah Surah Al-Baqarah, 2: 226-227.
      f.  Zihar
               Zihar adalah ucapan suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti suami berkata kepada istrinya, “Punggungmu sama dengan punggung ibuku.” Jika suami mengucapkan kata-kata tersebut, dan tidak melanjutkannya dengan mentalak istrinya, wajib baginya membayar kafarat, dan haram meniduri istrinya sebelum kafarat dibayar.
    8. ‘Iddah
             ‘Iddah berarti masa menunggu bagi istri yang ditinggal mati atau bercerai dengan suaminya untuk dibolehkan menikah kembali dengan laki-laki lain. Tujuan ‘iddah adalah untuk melihat perkembangan, apakah istri yang bercerai itu hamil atau tidak.
Manfaat adanya masa iddah
1. Untuk mengetahui dengan pasti berisi atau tidaknya kandungan perempuan tersebut.
2. Untuk memberi kesempatann berfikir kepada bekas suami istri itu, apakah keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk maka hal itu merupakan jalan yang sangat baik.

Ketentuan-ketentuan Masa Iddah
1. Bagi istri yang dicerai qabla ad dukhul (belum dikumpuli oleh suami), maka baginya tidak ada masa iddah dan suami disunatkan memberikan mut’ah (pemberian yang dapat menyenangkan hati bekas istri). Dan bekas istri boleh langsung kawin dengan laki-laki lain begitu selesai dicerai oleh suaminya.
2. Bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Sedangkan bila ditinggal oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka menurut jumhur ulama masa iddahnya sampai melahirkan anaknya.
3. Bagi istri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan anaknya
4. Bagi istri yang dicerai, sedang ia masih dalam keadaan normal haidnya, maka iddahnya tiga kali quru’ (tiga kali suci
5. Bagi istri yang diicerai dalam keadaan tidak haid lagi, baik karena menopause (usia lanjut) atau karena masih kecil atau sudah dewasa tapi tidak pernah haid, maka iddahnya adalah tiga bulan
    
         Lama masa ‘iddah adalah sebagai berikut:
      1.‘Iddah karena suami wafat
            a. Bagi istri yang tidak hamil, baik sudah campur dengan suaminya yang wafat atau belum, masa ‘iddah-nya adalah empat bulan sepuluh hari. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 234)
            b. Bagi istri yang sedang hamil, masa ‘iddah-nya adalah sampai melahirkan. (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
      2. ‘Iddah karena talak, fasakh, dan khulu’
            a. Bagi istri yang belum campur dengan suami yang baru saja bercerai dengannya, tidak ada masa ‘iddah. (Q.S. Al-Ahzab, 33: 49)
            b. Bagi istri yang sudah campur, masa ‘iddah-nya adalah:
       1) Bagi yang masih mengalami menstruasi, masa ‘iddah-nya ialah tiga kali suci. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 228)
       2)Bagi istri yang tidak mengalami menstruasi, misalnya karena usia tua (menopause), masa ‘iddah-nya adalah 3 bulan. (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
       3) Bagi istri yang sedang mengandung, masa ‘iddah-nya ialah sampai dengan melahirkan kandungannya (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
     9.     Rujuk
              Rujuk berarti kembali, yaitu kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya sebagaimana semula, selama istrinya masih dalam masa ‘iddah raj’iyah. Hukum rujuk asalnya mubah, artinya boleh rujuk dan boleh pula tidak. Akan tetapi, hukum rujuk bisa berubah, sebagai berikut:
      1. Sunah, misalnya apabila rujuknya suami kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk memperbaiki sikap dan perilaku serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga bahagia.
      2. Wajib, misalnya bagi suami mentalak salah seorang istinya, sedangkan sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan pembagian waktunya.
      3. Makruh (dibenci), apabila meneruskan perceraian lebih bermanfaat dari pada rujuk.
      4. Haram, misalnya jika maksud rujuknya suami adalah untuk menyakiti istri atau untuk mendurhakai Allah SWT.
                Rukun rujuk ada 4 macam, yaitu sebagai berikut:
      1.  Istri sudah bercampur dengan suami yang mentalaknya dan masih berada pada masa ‘iddah raj’iyah.
      2.  Keinginan rujuk suami atas kehendak sendiri, bukan karena dipaksa.
      3.  Ada dua orang saksi, yaitu dua orang laki-laki yang adil. (Q.S. At-Talaq, 65: 2)
      4. Ada sigat atau ucapan rujuk, misalnya suami berkata kepada istri yang diceraikannya selama masih berada dalam masa ‘iddah raj’iyah, “Saya rujuk kepada engkau!”
HIKMAH PERNIKAHAN
             Fuqaha (ulama fikih) menjelaskan tentang hikmah-hikmah pernikahan yang islami, antara lain:
1.      Memenuhi kebutuhan seksual dengan cara yang diridai Allah (cara yang islami), dan menghindari cara yang dimurkai Allah seperti perzinaan atau homoseks (gay atau lesbian).
2.      Pernikahan merupakan cara yang benar, baik, dan diridai Allah untuk memperoleh anak serta mengembangkan keturunan yang sah.
3.      Melalui pernikahan, suami-istri dapat memupuk rasa tanggung jawab membaginya dalam rangka memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya, sehingga memberikan motivasi yang kuat untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
4.      Menjalin hubungan silaturahmi antara keluarga suami dan keluarga istri, sehingga sesama mereka saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.
5.      Menjauhkan diri dari perbuatan tercela (zina). Islam mengajarkan agar setiap manusia mempertanggung jawabkan keberadaannya.
6.      Ketenteraman dan ketenangan hidup. Terpenuhinya kebutuhan biologis secara tenang dan aman akan semakin menyuburkan jalinan cinta kasih antara suami istri, sehingga keduanya akan memperoleh ketentraman dan ketenangangan hidup, minimal dalam kaitannya dengan kebutuhan biologis antara keduanya.
7.      Terpelihara dari perbuatan tercela dan maksiat. Ketentraman dan ketenangan hidup yang telah diraih seperti tersebut di atas akan menumbuh suburkan kesadaran akan adanya tanggung jawab masing-masing untuk menjaga dan melestarikannya. Masing-masing akan berusaha untuk berbuat yang terbaik, sehingga kecil kemungkinannya untuk melirik orang lain yang bukan suami/ istrinya, dan menjurus pada perbuatan zina atau maksiat lainnya.
8.      Melestarikan dan memelihara keturunan. Dengan adanya perkawinan maka terjaminlah kelangsungan hidup manusia secara sah dan manusiawi, dalam arti secara hukum maupun pertalian nasab dan silsilah keturunannya dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Seorang anak yang dilahirkan memiliki status yang sah dengan ayah ibunya, bukan anak yang baru memiliki status dan bahkan baru mengetahui orang tuanya setelah menginjak dewasa. Seperti halnya binatang, manusia memang dapat berkembang tanpa adanya ikatan perkawinan, akan tetapi manusia diciptakan oleh Allah swt dengan predikat termulia diantara sesama mahkluq, dengan akal dan budinya tentu memiliki cara dan sifat hidup yang jauh berbeda dengan binatang. Oleh karena itulah, sejak manusia pertama yaitu Nabi Adam dan Ibu Hawa telah menjalani hidup dalam ikatan perkawinan yang sah, bahkan tidak satu pun Agama Samawi yang tidak mensyari’atkan pernikahan.
9.      Hidup Bahagia Dunia Akhirat. Kondisi keluarga yang tenang dan tentram, terhindar dari perbuatan-perbuatan tercela serta memiliki keturunan yang sah dan shalih, merupakan modal dasar untuk terciptanya kehidupan bahagia sejahtera di dunia dan di akhirat apabila diimbangi dengan adanya kesadaran beragama yang baik. Bahagia di dunia berarti dapat menikmati hidup dan kehidupan dalam kondisi bagaimanapun dan tidak terpana atau bahkan meratapi kenyataan dan pahitnya kehidupan, sedangkan bahagia di akhirat berarti mendapatkan kenikmatan yang maha besar kelak di surga.
     C. PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
               Perundang-undangan perkawinan di Indonesia bersumber kepada Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan.
                    Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan tersebut, sebagai pengembangan dan penyempurnaan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
             Hal-hal yang perlu diketahui dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan antara lain:
       1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
                   Dalam pasal 2 dan pasal 3 dari Kompilasi Hukum Islam di Bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa perngertian perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan tujuan perkawinan ialah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
       2. Sahnya Perkawinan
                   Dalam pasal 4 dari Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Penjelasan pasal 2 ayat (1) UU RI Tahun 1974 mengatakan sebagai berikut:
•         Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, sesuai dengan UUD 1945.
•         Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
     3. Pencatatan Perkawinan
                   Dalam pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan dijelaskan:
   Ø  Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
   Ø  Pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (Kantor Urusan Agama Kecamatan        di mana calon mempelai bertempat tinggal).
   Ø  Agar pelaksanaan pencatatan perkawinan itu dapat berlangsung dengan baik, maka setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
   Ø  Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
       4.      Akta Nikah
                   Akta Nikah atau Buku Nikah (Surat Nikah) adalah surat keterangan yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah yakni Kantor Urusan Agama Kecamatan, tempat dilangsungkannya pernikahan yang menerangkan bahwa pada hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam telah terjadi akad nikah antara: seorang laki-laki (dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, dan tempat tinggal) dengan seorang perempuan (dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, dan tempat tinggal) dan yang menjadi wali (juga dituliskan nama, tanggal dan tempat lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan apa hubungannya dengan yang diwalikan)
       5.      Kawin Hamil
                   Dalam pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dari Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan dijelaskan:
       1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat menikah dengan pria yang menghamilinnya.
       2.  Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
       3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
               Hal-hal lain yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan adalah peminangan, rukun dan syarat perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, poligami, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, putusnya perkawinan, rujuk dan masa berkabung.